, , , ,

Arbeit Macht Frei

February 28, 2017 Samuel Yudhistira


Does work make you free?



Kerja.


Subuh kita bangun melawan dingin menerjang macet dan malam kita tiba di rumah membawa keluh kesah.


Bebaskah kita?


Kerja itu ibadah.


Apakah dengan bekerja kita bisa masuk surga? Segera ajukan pengunduran diri dan mulailah bertapa di gunung suci! Siapa tahu Tuhan sedang bermurah hati menurunkan wahyu-Nya kepadamu. Apakah jika engkau bekerja sebagai pelacur dan perampok masih dianggap sebagai ibadah?


Yang aku tahu air,listrik,tanah,beras,dan bensin tidak gratis.
Yang aku tahu ngopi sambil tertawa-tawa di balik etalase kafe itu tidak gratis.
Yang aku tahu buang air di WC umum itu tidak gratis.
Yang aku tahu rokok yang kuhirup nikmat itu tidak gratis

Bekerja karena memang keharusan. Kita ini adalah semacam investasi jangka panjang. Mereka menanam ilmu dan pengalaman supaya kita mengabdi entah kepada negara atau kepada perusahaan. Yang lainnya menapakkan kakinya di atas tanah berduri berusaha menjadi salah satu kepala dari sistem.


Hoaaaammm... rasa kantuk akibat buaian angin dari penyejuk udara membuatku bicara sedikit ngelantur. Di ruang penuh curiga ini aku menyempatkan diri menulis sedikit sebelum menyiapkan bahan meeting besok dan besok dan besok dan besok. Tanpa sadar uban di kepala bertambah banyak,keriput di wajah mulai menumpuk,tubuh tegap mulai membungkuk, dan nafas yang dahulu sanggup menyimpan oksigen dalam jumlah banyak mulai berkurang kapasitasnya. Yah, setidaknya di hari akhir nanti karangan bunga dari perusahaan akan menghiasi trotoar depan rumahmu. Roda kembali berputar dan berputar dan berputar. 


Berbahagialah, wahai robot-robot jalan protokol.
Kalian yang berdiri sepanjang jalan Thamrin,Sudirman,dan Rasuna Said 
Kalian yang menyempil di dalam kereta listrik
Kalian yang pasrah di tengah kemacetan
Kalian yang bergumul di dalam bus kota
Berbahagialah dan nikmati saja semua
Upahmu adalah uang pensiun yang tidak seberapa
Dan raga tua yang tak lagi produktif
Atau penyakit yang kau tabung sejak masa muda


Sudah bebaskah kita?


Arbeit macht frei!

, , , ,

Kisah Parkiran

February 07, 2017 Samuel Yudhistira
Si laki-laki berjalan mondar-mandir dengan tatapan bingung bercampur kesal sambil berbicara melalui telepon genggamnya. Dua jam lagi si wanita tiba, itupun belum pasti tergantung dari belas kasihan jalanan Jakarta yang selalu mampu menghambat orang-orang untuk bertemu tepat waktu. Percakapan di telepon genggam barusan nampaknya membuat si laki-laki bertambah gusar. Dia memutuskan untuk membeli segelas kopi instan dan beberapa batang rokok ketengan untuk menemaninya membunuh waktu tanpa sadar dua teman menunggu tersebut perlahan membunuh dirinya juga secara perlahan.


Ruang tunggu supir di mall adalah tempat yang cukup menyenangkan untuk sekedar duduk menikmati kopi dan kretek sambil menunggu datangnya si wanita yang terjebak kemacetan. Berhubung ini mall yang elit di kawasan Jakarta sudah tentu ruang tunggu supirnya dibuat cukup nyaman karena para supir pasti akan lama menunggu majikan mereka sibuk berbelanja atau sekedar ngopi di kafe kontras dengan mereka yang minum kopi instant dari gelas bekas air mineral.


Dimulailah cerita tentang mobil-mobil majikan mereka dengan beragam fiturnya yang mutakhir,kecepatan,kekuatan,dan kestabilan mobil-mobil super tersebut ketika melaju di jalan bebas hambatan atau tentang jarak yang mereka tempuh sehari-hari dari rumah ke kantor lalu ke mall atau bahkan ke tempat pijit dengan layanan "ekstra" selain sekedar merenggangkan otot yang kaku.
30,25,20,15,8,5 tahun sudah mengabdi di balik setir para majikan mereka.
Truk,jip,mobil boks,hingga sedan mewah sudah pernah menjadi rekan kerja mereka selama bertahun-tahun.

Dari aparat,executive,militer,hingga pegawai negeri sudah pernah menjadi tuan mereka.
Gosip majikan masing-masing menjadi penyedap rasa untuk cerita mereka.
Kebahagiaan hingga penyesalan semua menguap larut bersama udara malam.
Gaji pas-pasan dengan hutang bertumpuk menyambut mereka setiap hari di rumah.


Si laki-laki larut dalam khayalannya sendiri mencoba membayangkan menempuh Jakarta-Bogor dan sebaliknya setiap hari atau tenggelam dalam kemacetan ekstrim yang setiap hari memaksa orang-orang mengumpat setiap kali terjebak di dalamnya. Di dalam hatinya dia berdoa bersyukur atas apa yang dia genggam sekarang. Kopinya menyisakan ampas dan rokoknya mulai membakar filter menandakan tidak ada lagi tembakau untuk dibakar dan dihisap. Satu gerakan membuang dan menginjak menandakan pesta perusakan paru-paru sudah selesai.


Satu demi satu supir yang tadi ramai menunggu mulai mulai menyepi dipanggil para majikan. Telepon dari majikan menjadi panggilan surga menandakan majikan mereka sudah selesai beraktivitas dan sudah saatnya untuk pulang kembali ke rumah.


Si laki-laki menerima panggilan yang menandakan si wanita sudah tiba di mall tersebut membawa kerinduan bertumpuk beserta kelelahan fisik setelah didera kemacetan di jalan. Dilihatnya si wanita berjalan terburu-buru dengan wajah merasa bersalah karena membuat si laki-laki menunggu begitu lama. Dipeluknya tubuh si laki-laki sambil meminta maaf. Si laki-laki hanya tertawa dan tersenyum sambil mengusap rambut si wanita. Hilang semua lelah akibat menunggu dan duduk di mobil begitu lama hanya dengan pelukan dan senyuman.


Mungkin yang dibutuhkan semua orang itu hanyalah pelukan dan senyuman untuk membunuh semua beban lelah yang hinggap di tubuh. Yeah, saya mengalaminya dan saya rasa itu berhasil.