,

Mengabadikan Kematian

April 18, 2018 Samuel Yudhistira
Gue sekarang lagi ikutan kursus bahasa asing di daerah Blok M demi melancarkan usaha gue kuliah di luar negeri.*Sadaps*


Sebenernya juga gue belum tahu mau kuliah di mana lantaran banyak banget pilihan asik buat dipelajari tapi yah sembari mencari kampus gue sekalian juga memperdalam bahasa biar entah gak kagok pas kuliah. 

So, sekarang setelah balik kerja gue langsung tancap gas ke Blok M buat kursus sampe jam 08:30 malam. Waktu main berkurang sih, tapi yaudahlah namanya juga usaha menuju cahaya terang di ujung sana. *Anjaaay*

Biasanya gue naik motor tapi karena minggu lalu motor gue jebol jadinya gue memutuskan untuk naik moda transportasi lain yang gak kalah kece. Yak! Kereta Rel Listrik a.k.a. Commuter Line. Enak sih naik kereta, selain cepat, kereta juga sekarang dah gak se-chaos jaman dulu. Gue cukup menikmati perjalanan gue naik kereta kecuali kalo lagi ada gangguan di perjalanan.

Selepas jam kursus gue biasanya naik ojol ke stasiun terdekat which is Stasiun Kebayoran Lama. Biasanya sih gak perlu nunggu lama kereta gue buat menuju Tanah Abang langsung nongol tapi kali ini agak lama entah kenapa. Pas keretanya datang juga gak langsung jalan karena menurut informasi ada gangguan dalam perjalanan menuju Tanah Abang. Gue di situ masih cuek aja karena biasanya kalo gangguan juga gak bakal lama-lama banget. Tapi kali ini kayanya gangguannya cukup parah karena lebih dari setengah jam gue nunggu kereta gue gak jalan-jalan.

Akhirnya kereta jalan tapi jalannya juga ngadat-ngadat. Gak tahu deh sebenarnya ada gangguan apaan di depan... Ternyata.... Ada kecelakaan di depan yang melibatkan kereta dengan sepeda motor atau pejalan kaki gue gak tahu persis. Tapi yang jelas kecelakaannya masih benar-benar baru dan korban tewas masih dievakuasi seadanya. Pas kereta gue melintas di kanan-kiri rel warga sudah ramai mengerubungi TKP kecelakaan. Nah, di sinilah hal unik terjadi. Penumpang-penumpang di kereta gue beramai-ramai berdiri menuju ke sisi kanan kereta hanya untuk mengabadikan korban kecelakaan.

Ya, gue ngeliat betapa antusiasnya mereka dengan gawai masing-masing berusaha untuk mengabadikan jenazah yang masih fresh tersebut dari gerbong kereta gue. Bahkan ada beberapa cewek abege bawel yang kayanya seneng banget bisa ngeliat mayat.

Gue heran ngeliat kelakuan macam itu. Koq kyanya mereka sangat senang yah bisa mengabadikan musibah bahkan mendapatkan foto korban kecelakaan tersebut. Gue bingung. Rasanya orang jaman sekarang punya obsesi berlebihan terhadap eksklusivitas sebuah cerita. Gue yakin foto dan video yang mereka dapatkan hari itu sudah tersebar cepat di semua grup platform pesan instan ditambah dengan caption mengerikan sebagai bumbu musibah tersebut.

Tiba-tiba gue teringat tentang sebuah peristiwa kecelakaan yang terjadi beberapa bulan lalu ketika sebuah bus pariwisata mengalami kecelakaan hebat. Pihak berwajib datang terlambat sehingga warga sekitar dan orang-orang yang kebetulan melintas di daerah tersebut dapat langsung mengerubungi TKP. Dalam sebuah wawancara seorang korban selamat mengingat hari naas tersebut dengan berkata bahwa setelah kecelakaan terjadi hampir semua orang yang berkerumun datang ke TKP tidak langsung melakukan perolongan kepada korban-korban lain yang selamat tetapi langsung sibuk mengabadikan TKP dengan gawai mereka.

Selamat datang di era digital.

Berpikir Lalu Tertawa.

April 02, 2018 Samuel Yudhistira
Sebotol bir dingin, satu porsi chicken wings, dan sebuah buku catatan kecil berwarna putih tergelatak di meja bar. Posisi yang sempurna untuk menyendiri. Sepasang muda-mudi di sebelah kirinya nampak larut dalam percakapan tentang bangunan tua, sekelompok turis asing asik mengambil gambar dengan kamera, dan si laki-laki mulai menyalakan rokoknya. Pikirannya terbang ke langit menyusul asap putih rokok yang dia hembuskan.

Dia membuka buku catatannya. Menulis sumpah serapah seakan dia dibayar untuk menulis hal-hal demikian. Halaman yang tadinya putih kosong mendadak penuh dengan kata-kata yang tidak semua orang bisa mengerti. Si laki-laki menggambar dunia dengan kata-kata.

Mati.
Mati.
Mati.
Mati.
Mati.
Mati.
Mati.

Tujuh kata mati menghiasi lembar-lembar catatannya. Bukankah seharusnya dia datang untuk bersenang-senang? Mengapa dia membuang segenap waktunya untuk menulis tentang kematian? Pfftt, people die everyday. Akan ada satu waktu dalam hidupmu di mana engkau tidak bisa memilih tidak. Waktu ketika engkau diwajibkan untuk kembali ke alam baka dan menghadapi sidang untuk menentukan posisi terakhirmu di dunia yang lain.

Surga? Neraka? Di sudut pertokoan? Di tengah klub malam? Terminal Pulo Gadung? Pasar Senen?Di sudut gang sempit? Di kandang sapi? Di atas gunung? Ahh, apalah artinya kenyamanan. Bagi si laki-laki surga adalah tempat di mana dia bisa makan babi panggang tanpa kenal istilah darah tinggi atau kolestrol. Lalu si laki-laki pulang kembali ke pinggiran kota menuju rumah tua yang sudah dia anggap sebagai surga. Hhhh, betapa suka kita manusia mempersulit segala sesuatu yang seharusnya mudah.