To Live is to Die

October 30, 2015 Samuel Yudhistira
Kemarin dunia kehilangan salah satu manusia yang menginspirasi gue dalam menjalani hidup. Dibalik semua hal yang dianggap orang secara umum adalah kekurangan dia memutarbalikkan fakta dan mengubah persepsi setiap orang.

Jujur gue sendiri kalo dihadapkan dengan kondisi serupa sudah pasti tidak mungkin bertahan. Tapi orang yang kemarin pergi menuju keabadian mampu menyelesaikan semua tanggung jawab dengan sempurna. Sempurna. Gue berani sekali menyebut kata yang mungkin hanya bisa ditujukan kepada Yang Maha Kuasa. 

Mungkin standarisasi gue turunkan untuk menilai sempurna sebagai manusia dalam konsep nilai yang berbeda. 

Gue belum sempat bicara banyak ataupun sharing banyak hal, bahkan mungkin memori terakhir tentang gue di pikirannya adalah hal yang kelewat negatif.

I owe you stories, mate.

Mungkin sebuah hutang yang tidak mungkin ditagih lagi. Sebuah janji yang tak mungkin bisa ditepati.

Sialnya waktu. Terlalu cepat. Cita-cita orang ini sangatlah besar di balik tubuhnya yang kecil dan terkesan ringkih. Halangan? Tidak sama sekali. Kalaupun menghalang biarlah itu menjadi satu langkah ke depan bukan penghambat.

To live is to die itu kata-katanya Cliff Burton... salah satu musisi yang paling gue kagumin dan gue rasa sangat pantas untuk menggambarkan realita yang terjadi.

Well... sekarang elo udah tenang my friend. Kita ketemu cuman sebentar memang tapi kisah hidup lo gue jadiin pemacu semangat gue selagi gue hidup. You've done a very almighty job here. Earn it. Heaven done called another good fella back home. Novantius Nicky, mungkin nama ini sudah terpatri abadi di hati gue. Nama yang melambangkan pertarungan gigih sampai titik batas terakhir.

So long Nick! Find peace.

Bob Dylan once said:

"Some people seem to fade away but then when they are truly gone, it's like they didn't fade away at all."