, , ,

Halo Hujan. (bagian kedua)

May 02, 2017 Samuel Yudhistira
5 Januari 2017


Dia berteduh di sebuah komplek pertokoan sambil meratapi nasib sial dihajar hujan deras. Jarak ke rumah dari tempatnya berteduh sekitar 36 kilometer lebih. Pikiran di kepalanya masih campur aduk antara senang atau sedih. Senang karena pada hari ini dia berulang tahun dan sedih karena hari ini terasa sangat hambar. Suasana sedih semakin bertambah kala hujan badai tiba-tiba turun tanpa pertanda.

"Aku adalah manusia sial yang tidak tahu apa artinya bersyukur," dia menggumam dalam hati sambil memandangi rintik hujan dengan tatapan naas.

Dia mengingat hari-hari yang lalu di tanggal yang sama ketika semua orang masih berwajah sama pula. Ketika segelintir orang bersumpah setia untuk saling menjaga dan mendukung satu dengan yang lainnya. Waktu itu mereka dengan bangga berkata bahwa tak akan ada yang dapat mengguncang ikatan persaudaraan di antara mereka.

Namun sayang nasib berkata lain. Mereka lebih suka membanggakan dirinya sendiri,mereka lebih suka memeluk awan hingga lupa daratan, mereka lebih mencintai uang dibanding yang lain, mereka lebih suka melihat orang lain sengsara asalkan mereka selamat.

"Air sedang menari," dia berujar lirih, "Mungkin jika setiap tetes air hujan punya warnanya masing-masing maka dunia akan menjadi sebuah lukisan yang menakjubkan."

Disekanya air hujan yang membasahi kacamatanya. Dia teringat sudut kamar tempat mencurahkan semua perkaranya, bicara dengan angin, menatap langit-langit kamar yang kadang penuh dengan visual ajaib, dan kadang bulan menyapanya dari ujung jalan. Sudut bau keringat bercampur asap yang menjadi tempat favoritnya di rumah. Di sanalah dia menulis surat untuk hujan yang dia cintai.

"Halo hujan. Terima kasih sudah memberikan ucapan ulang tahun. It means a lot to me, man. Thank you," dia mulai mengajak hujan berbicara.

"Terima kasih. Hari ini saya ulang tahun. Seperempat abad sudah menjejakkan kaki di dunia yang kadang indah kadang tidak. Saya senang kamu datang. Bahkan membawa angin temanmu untuk ikut bersukacita bersama. Ke mana kilat dan petir? Mengapa tidak sekalian kau ajak mereka? Kita bersenang-senang di sini. Antar aku pulang. Rumahku masih jauh, kalian ajak saya bicara supaya lelah di badan ini tidak lagi menyiksa," dia sudah tidak peduli lagi orang mau menganggapnya gila atau apalah mengajak hujan bicara.

Dia menari,berteriak,melompat,berjingkrak kegirangan di atas genangan air mengikuti nyanyian angin. Di hari yang sangat istimewa ini dia ingin berbagi dengan hujan sahabatnya. Hari yang dulu penuh kehangatan palsu sekarang terganti dengan dingin menusuk yang tulus dan penuh cinta.

Hari di mana dia pertama kali menghirup udara kehidupan.