Pada Suatu Hari Kota Kita Gelap Gulita dan Semua Orang Ketakutan

March 05, 2021 Samuel Yudhistira




Kau memandangi api menari di atas sumbu, memakan habis badan lilin secara perlahan tapi pasti. Badan lilin yang tadinya kokoh berubah menjadi bongkahan lelehan kering tak jelas gunanya. Listrik tak kunjung menyala dan nyaris tidak ada hal yang bisa kau lakukan selain berkontemplasi dengan dirimu sendiri di dalam kegelapan.


Kenangan pertamamu tentang hari ulang tahun ketiga yang dirayakan secara sederhana di rumah kontrakan kecil bersama ibu, kakak, adik kecilmu, dan asisten rumah tangga yang bekerja di rumahmu.


Kenangan ketika kaos kaki panjang warna putih hingga lutut selalu kau kenakan karena malu dengan bekas luka bakar di kaki. Ada masa ketika korek api kayu dan minyak tanah menjadi mainan murah meriah. Kau bakar habis semua daun kering di sekitar pohon kapuk angker dekat lapangan tempat banyak sekali permainan kau ciptakan bersama teman-temanmu yang sekarang entah di mana rimbanya. 


Perpisahan pertamamu adalah ketika teman-teman baikmu pindah rumah demi melanjutkan sekolah. Kadang kau kembali ke lapangan bulu tangkis kenangan tersebut, duduk sendirian dekat gardu listrik sambil berharap wajah-wajah yang kau kenal datang untuk bermain bersama seperti dahulu kala.


Masa terbaik menurutmu adalah ketika sebuah rumah disulap menjadi gedung sekolah tempatmu menimba ilmu, bermain, dan melakukan banyak hal bodoh yang kala itu terlihat keren. Kasti dan sepak bola menjadi hobi utamamu hingga akhirnya kau melakukan kebohongan besar pertamamu ketika kau begitu benci sekolah dan berpura-pura sakit demi melewati jam-jam pelajaran membosankan di ruang kelas.


Di mana semangatmu yang dulu? Ketika mobil sedan Ford tua warna merah menyala di akhir pekan untuk membawamu ke tempat yang sangat kau sukai: Taman Mini Indonesia Indah. Kadang ibumu membawa bekal makanan untuk disantap di sana agar tak perlu kalian jajan di sana. Kereta api mini menjadi wahana favoritmu di sana. Bermain hingga semua museum dan wahana tutup barulah kau puas. Terlelap di dalam mobil hingga tiba di rumah.


Ke mana perginya semangat petualangan yang dulu pernah hinggap di hatimu? Ketika sepeda gunung merk Federal warna biru yang dibeli ibumu di tukang sepeda bekas menjadi teman baikmu. Berputar-putar tanpa arah di siang hingga sore hari ketika banyak dari teman-temanmu sudah menaiki sepeda motor kau tetap setia dengan sepeda tuamu. Berkhayal liar di dalam setiap kayuhan, merasa bisa menemukan tempat asing yang belum pernah dijamah manusia dan menancapkan bendera pertanda bahawa kau orang pertama yang duluan tiba di sana.


Bukankah dahulu kau pernah begitu jatuh cinta pada dunia aksara? Dunia yang membuatmu berpikir bahwa kau tahu lebih banyak dibanding orang lain. Ketika toko buku menjadi tempat di mana kau sangat bahagia dan tak sabar ingin kau lahap setiap kata di dalam buku tersebut. Kadang kau begitu larut hingga kau merasa menjadi bagian dari cerita tersebut dan bergaya seakan-akan kau adalah tokoh utama. Ketika kau beranjak dewasa kau sadar bahwa kau adalah pemeran pembantu, figuran dalam layar lebar pertunjukan dunia yang dengan sangat mudah bisa dilupakan.


Pada suatu hari kota kita gelap gulita dan kau tidak bisa melihat bercak-bercak kering bekas darah di lantai kamar yang gelap gulita di mana bau keringat, darah, dan asap rokok bercampur aduk menciptakan aroma yang tidak wajar bagi orang normal. 


Lalu kau pergi.