, ,

Now the Moon is Almost Hidden, the Stars are Beginning to Hide

April 13, 2021 Samuel Yudhistira
Somewhere in Bekasi
04:25 AM

Sebagian sudah melaju pulang menuju rumahnya masing-masing sementara kalian masih terduduk dengan energi yang entah tak habis-habis. Ohh satu orang tertidur pulas di pelataran depan ruko beralaskan kardus sambil memeluk papan skateboard yang entah buat apa. Bicara sepak bola, sudut pandang hidup, hingga masa depan yang entah mau jadi apa.

Langit sudah mulai kosong dan bau mercon sudah mulai hilang. Romantisme menunggu matahari pertama di tahun yang baru memang menyenangkan. Kita sepertinya cukup serakah ingin menjadi yang pertama merasakan matahari yang baru dengan harapan yang baru pula. Haduh...retorika macam apa pula itu? Pada intinya kami hanya menunggu diri kami sadar dari pengaruh alkohol dengan datang ke tempat di mana kami biasa berkumpul membahas politik kampus tai kucing. 

Sebuah tempat sederhana di mana kami habiskan jam-jam kuliah dengan bermain kartu sampai malam hari dan begitu seterusnya sampai kita semua sadar kalau yang kita lakukan hanya hura-hura. 

Larutlah kita dalam percakapan tentang apa yang akan kita lakukan kelak ketika sudah meninggalkan bangku kuliah. Yah..kuliah di kampus biasa saja dan menjadi salary man biasa saja nampak sudah menjadi tradisi turun-temurun. Kalau beruntung punya koneksi di instansi tertentu mungkin bisa saja segera masuk atau kalau orang tuanya punya usaha yaaa tinggal melanjutkan saja. Memang pada dasarnya susah menembus kasta yang lebih tinggi jika usaha dan modal kurang. Anggap saja kita semua adalah lotere kehidupan yang gagal karena lahir di keluarga biasa saja dengan kecerdasan biasa saja. Pada akhirnya keberuntungan di awal adalah modal kuat untuk menjadi sukses yaitu dengan lahir di keluarga yang tepat. 

Lho!? Koq sinis sekali cara pandangnya? 

Tapi kemiskinan struktural dan kultural adalah nyata adanya dan menjadi makanan sehari-hari masyarakat di sekitar kita. Bagaimana kita bisa bebas? Wah, kurang tahu! Tanyakan saja pada mereka-mereka yang lebih pandai. 

"Putra-putri terbaik bangsa,"

Lalu kita ini apa? Ampas tahu? Ketidakmerataan akses pendidikan jugalah yang menyebabkan banyak dari kita terjebak. Apa kita salah tidak mati-matian? Apa kita yang terlalu manja? Atau mungkin memang kita kurang belajar? Umm...atau akses yang kita punya memang sungguh terbatas?

Bicara apa sih...hidup di kota kok masih merasa terbatas? Kurang akses apa kalian? Semua serba ada. Tinggal bagaimana caranya memanfaatkan sumber daya. 


Hmm...berarti kita salah? 

Belum tentu.

Lantas bagaimana nanti ke depannya? Ketika kita keluar menjadi sarjana dan bertemu dengan sarjana lainnya yang di atas kertas akreditasi "lebih berkualitas" dibanding kita ini?

Cukup hanya nasib yang nanti membawamu keluar. Kita dikasih kisi-kisi tentang kehidupan, tergantung bagaimana kita mengartikan dan memanfaatkan petunjuknya. Kalau memang nasibmu bagus yasudah. Kalau tidak? Ya coba saja lagi. Kalau gagal terus? Pergilah ke dukun! Mandi kembang sekalian agar nasib sialnya pergi.

Kita ini menimba ilmu di pabrik pencetak pekerja bukan pemimpin. Orang berdasi jaman sekarang bukan berarti orang kaya! Petugas keamanan pun ada yang berdasi. Tapi apakah berarti mereka tidak sukses? 

Duh...kau ini mau dibayar karena otak atau karena otot? Jangan disamakan! 

Tapi katanya ijazah kita tidak terpakai di dunia kerja...banyak rumor beredar kita ini pada akhirnya hanya bisa melamar kerja sebagai pekerja kelas 2 bahkan kelas 3, sementara mereka-mereka dari kampus lain bisa kemana saja karena dianggap lebih brilian.

Pada dasarnya kita pantas khawatir karena yang kita temui sehari-hari memang orang-orang pragmatis kurang gaul. Entah karena hanya ingin sekedar bekerja atau memang ingin bangun karir kita tidak ada yang paham.Bagi sebagian besar orang di tempat ini dapat ijazah, kerja jadi pegawai bank di kantor cabang, terima gaji itu sudah cukup. Sementara jika mau dapat pekerjaan yang menurut kita baik...haduh...lolos seleksi administrasi saja sudah bersyukur. Kita akan digagalkan karena mereka semua akan pukul rata tentang dari mana kita dapat ijazah.

Semua sudah ditentukan. Salah di awal, kita dilindas. Salah berteman, kita dimakan. Semua akan ditekan terus hingga habis darah kita. Kita semua ini adalah korban. Korban produksi massal dan jomplangnya standar. Tapi mau bicara apa lagi? Teriak-teriak di depan markas para badut dan istana paduka pun tidak akan jadi apa-apa.

Sudah paling benar kita nikmati saja embun pagi yang tidak sehat ini. Habiskan kopi, bicara tentang hal-hal yang sama terus berulang, lalu tertawa. Karena kita semua sudah tahu di awal: Life is never kind.

Period.