,

Don't Critisize What You Can't Understand

March 27, 2012 Samuel Yudhistira
Akhir-akhir ini timbul banyak wacana yang sangat mempegaruhi orang-orang banyak: "KENAIKAN BBM". Yeah, setelah menimbang banyak hal akhirnya pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM, dengan kisaran yang gw sendiri jujur belum tahu, isu yang beredar sih berkisar antara 1500-2000 per liter. Jumlah yang tidak sedikit menurut gw. Apalagi, seperti yang kita tahu, kenaikan BBM bakalan berpengaruh telak terhadap banyak barang kebutuhan.

Dan seperti biasa, rakyat kecil menjadi "korban".

Korban kegagalan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam terbatas, korban kepentingan pihak asing dalam memonopoli minyak, korban alam dengan buminya yang cadangan minyaknya semakin sedikit, korban kenaikan harga minyak dunia, korban subsidi salah sasaran, dan korban kejamnya dunia.

Alasan pemerintah dalam menaikkan harga BBM, salah satunya adalah karena semakin membengkaknya subsidi BBM. sehingga pemerintah hendak mencabut subsidi tersebut. Dengan begitu sebagai gantinya pemerintah akan menggunakan subsidi tersebut untuk kepentingan lain yang dianggap "SANGAT MENOLONG" rakyat kecil, yaitu: "BLT: BANTUAN LANGSUNG TUNAI", di mana setiap 3 BULAN rakyat yang dianggap tidak mampu diberikan bantuan berupa uang tunai sebesar 450.000 (kalo gak salah), pemerintah mengklaim cara ini merupakan cara paling efektif dalam menanggulangi kemiskinan.


Kita anggap saja nilai 450 ribu setiap 3 bulan adalah benar, maka setiap bulan rakyat misikin Indonesia menerima 150 ribu sebagai bagian dari belas kasihan pemerintah terhadap rakyat miskin. Yang menjadi masalah, "Cukupkah uang segitu memenuhi kebutuhan rakyat?"

Jawaban gw simpel: GAK SAMASEKALI!!

Gila aja, 150 ribu sebulan, lo kasih gw segitu paling cukup cuman buat 3 hari, ato seminggu kalo bener-bener irit (mendekati sengsara), nah kalo memang cara BLT dengan nilai segitu dianggap useless, kenapa pemerintah mencoba mempertahankannya sebagai ganti dari pencabutan subsidi BBM?

Lagipula benar yang dibilang pepatah, "Lebih baik memberi kail daripada memberi ikan".

Kalau memang subsidi BBM dicabut karena dianggap memberatkan dan tidak tepat sasaran, kenapa gunakan dana tersebut terhadap kebijakan yang jauh lebih tidak masuk akal??

Di situ letak keanehan kebijakan pemerintah saat ini.

Opsi pemerintah tentang kenaikan harga BBM pun tidak kalah absurd, "memberikan penjatahan BBM terhadap mobil-mobil pribadi, sehingga diharapkan mobil-mobil pribadi beralih ke BBM non-subsidi, dan BBM bersubsidi diperuntukkan bagi rakyat tidak mampu,"

Untungnya opsi yang satu ini tidak menjadi pilihan, karena nyaris mustahil dengan kondisi Indonesia yang sekarang ini dilakukan kebijakan pembatasan BBM yang bahkan caranya belum diketahui.

Sehingga pada akhirnya opsi kenaikan harga BBM menjadi pilihan paling masuk akal menurut gw. Gw "mendukung" kenaikan harga BBM, dikarenakan, pemerintah Indonesia sedang berada dalam masa krisis ekonomi, sehingga benar subsidi BBM menjadi beban yang terlalu besar bagi pemerintah, ditambah lagi subsidi tersebut ternyata tidak tepat sasaran, alias tidak tepat guna.

Selain itu, cadangan minyak Indonesia semakin menipis, dikarenakan teknologi pengolahan bahan minyak mentah yang sangat vital dalam memproses sejauh ini belum dimiliki Indonesia, sehingga intervensi pihak asing dibutuhkan, dengan syarat pembagian hasil alam yang diolah tersebut, sehingga jangan heran kalau di Indonesia banyak perusahaan minyak asing yang bercokol di wilayah tertentu dan mengeruk hasil bumi Indonesia untuk dibawa ke negara lain.

Dan faktor korupsi yang tinggi di kalangan pemerintah menambah bebab penderitaan masyarakat. Korupsi yang sudah sangat parah di pemerintahan memberi dampak terhadap kenaikan harga BBM, hal ini berpengaruh karena dengan adanya korupsi maka dana yang seharusnya dialokasikan demi pembangunan justru masuk ke rekening-rekening beberapa orang yang bertanggung jawab terhadap dana tersebut. Hal ini membuat uang subsidi BBM menjadi berkurang sehingga dalam perhitungan, negara mengalami defisit akibat subsidi, padahal kenyataanya korupsi yang menjadi "dalang" di balik kekurangan tersebut.

Dan demo-demo yang digalang mahasiswa, nampak akan berujung pada ketidakjelasan, karena apa yang dituntut mahasiswa mendekati mustahil, hanya saja secara politik, tindakan yang dilakukan mahasiswa dengan berdemo adalah cerminan dari negara demokrasi. Yang menjadi masalah, tindakan-tindakan yang dilakukan dalam menyuarakan aspirasi mereka justru mencederai nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Demonstrasi kali ini, tidak bisa disamakan dengan demonstrasi mahasiswa besar-besaran pada tahun 1966 atau pada tahun 1998.

Pada tahun 1966, mahasiswa memberikan tuntutan yang disebut "Tritura", dan menuduh presiden Soekarno tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga inflasi melonjak tinggi, dan kesejahteraan hancur. Dan secara politik juga mahasiswa menuntut para pelaku G30S/PKI ditangkap dan diadili. Secara ekonomi dan politik presiden Soekarno tidak mempunya kedudukan yang kuat sehingga kekuasaannya jatuh.

Pada tahun 1998, hal yang sama menimpa presiden Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun jatuh dikarenakan kedudukannya secara ekonomi dan politik tidak kuat akibat jatuh temponya utang negara yang menyebabkan inflasi dan krisis ekonomi. Pada bidang politik presiden Soeharto dianggap rakyat memerintah secara diktator dan banyak melakukan pelanggaran HAM, serta korupsi yang merajalela.

Pada tahun ini kedudukan presiden kita juga semakin tidak jelas. Namun yang menjadi masalah kedudukan rakyat sebagai kekuasaan "tertinggi" dalam sistem demokrasi juga nampak terpecah, hal ini membuat usaha beberapa orang untuk menghimpum kekuatan massa untuk menggulingkan pemerintahan yang korup ini juga nampak mustahil.

Entah sadar atau tidak, kita harus bersatu dulu sebagai negara, untuk dapat menyelesaikan masalah negara yang pelik ini. Semua ini tergantung kita dalam merangkai kembali kumpulan benang yang sudah terlanjur kusut ini, sebuah kumpulan benang kusut yang kita sebut dengan nama Indonesia.