Surat Untuk Dirimu (bagian kedua)

June 17, 2015 Samuel Yudhistira
Hai dirimu!


Rasa-rasanya baru kemarin aku memanggilmu dengan sebutan "dirimu" dan tidak ada niatan sedikitpun untuk diiubah. Yah, beginilah hidup kita sekarang, menjadi bagian dari mereka yang mengejar peruntungan di kota Jakarta, sekarang kita sudah menjadi karyawan. Sebuah masa di mana ilmu-ilmu yang kita pelajari selama 4 tahun kuliah terbang begitu saja menjadi retorika di masa lalu. Terpaksa kita realistis.

Sudah lama tidak menulis surat lagi yah..

Jujur saya rindu kertas warna-warni dengan tulisan tanganmu yang terkadang membuat haru. Ternyata dirimu bisa juga menulis kalimat-kalimat yang indah.

Waktu berlari! Disuruh berhenti dia malah semakin cepat berlari. 

Terkadang sebal dengan waktu ini, terkesan sirik lihat orang bahagia menikmati hari. Rasanya baru ngobrol sebentar tiba-tiba di luar sudah gelap. Sedang ingin tidur larut malam baru sadar besokk harus kerja lagi. Aktifitas kita meningkat tajam setelah lulus kuliah, sedih juga kadang kalau ingat waktu kuliah tidak manfaatkan waktu yang ada. Maklum, waktu kuliah belum pegang uang.

Bisa ngobrol modal kopi segelas dan air mineral saja sudah untung. Sekarang setiap jalan-jalan perut kekenyangan. 

Sekarang kita di tengah opsi kehidupan yang jauh lebih rumit. Masa depan..masa depan...ingin rasanya bisa melihat masa depan supaya jelas apa yang harus kita siapkan dan jelas akan seperti apa kita di masa depan.

Dirimu... tetap bersamaku yah.

Dalam pilihan yang luar biasa sulit ini aku hanya bisa berharap ada orang yang mensupport aku apa adanya tanpa banyak bicara bla...bla..bla...

Yah, hidup memang selalu berada di bawah ekspektasi kita.

Payah memang!

Tapi yahh biarkan kita menari diiringi masalah.
Rasa frustrasi mewarnai hidup kita
Ketika kita menatap langit senja kota kita yang sudah penuh polutan
Dan bising suaranya menggaung di telinga.
Ingat, kita jangan jatuh ke dalam lingkaran setan kehidupan