Berpikir Lalu Tertawa.

April 02, 2018 Samuel Yudhistira
Sebotol bir dingin, satu porsi chicken wings, dan sebuah buku catatan kecil berwarna putih tergelatak di meja bar. Posisi yang sempurna untuk menyendiri. Sepasang muda-mudi di sebelah kirinya nampak larut dalam percakapan tentang bangunan tua, sekelompok turis asing asik mengambil gambar dengan kamera, dan si laki-laki mulai menyalakan rokoknya. Pikirannya terbang ke langit menyusul asap putih rokok yang dia hembuskan.

Dia membuka buku catatannya. Menulis sumpah serapah seakan dia dibayar untuk menulis hal-hal demikian. Halaman yang tadinya putih kosong mendadak penuh dengan kata-kata yang tidak semua orang bisa mengerti. Si laki-laki menggambar dunia dengan kata-kata.

Mati.
Mati.
Mati.
Mati.
Mati.
Mati.
Mati.

Tujuh kata mati menghiasi lembar-lembar catatannya. Bukankah seharusnya dia datang untuk bersenang-senang? Mengapa dia membuang segenap waktunya untuk menulis tentang kematian? Pfftt, people die everyday. Akan ada satu waktu dalam hidupmu di mana engkau tidak bisa memilih tidak. Waktu ketika engkau diwajibkan untuk kembali ke alam baka dan menghadapi sidang untuk menentukan posisi terakhirmu di dunia yang lain.

Surga? Neraka? Di sudut pertokoan? Di tengah klub malam? Terminal Pulo Gadung? Pasar Senen?Di sudut gang sempit? Di kandang sapi? Di atas gunung? Ahh, apalah artinya kenyamanan. Bagi si laki-laki surga adalah tempat di mana dia bisa makan babi panggang tanpa kenal istilah darah tinggi atau kolestrol. Lalu si laki-laki pulang kembali ke pinggiran kota menuju rumah tua yang sudah dia anggap sebagai surga. Hhhh, betapa suka kita manusia mempersulit segala sesuatu yang seharusnya mudah.