Pada Suatu Hari Ketika Bulan Sedang Berubah Warna Menjadi Ungu

May 21, 2025 Samuel Yudhistira

Kita berdua berjalan kaki di kota di mana pejalan kaki menjadi warga negara kelas tiga dan nyaris tidak punya hak untuk berada di jalan raya kota. Terkadang saya suka membayangkan momen berjalan kaki di kota ini seperti sebuah petualangan di video games. Menghindari banyak sekali obstacles demi mencapai tujuan di garis akhir. Gamifikasi sederhana agar kita lupa kalau kita hidup dalam sebuah sistem yang mendorong pejalan kaki untuk keluar dari jalanan dan membeli kendaraan. Bayangan kita berdua terpantul di atas aspal dan beton menciptakan sebuah visual ajaib. Mereka sedang menari di hadapan kita yang sedang penuh dengan pergumulan di dalam kepala. Ada banyak pertanyaan di dalam kepala namun sedikit sekali jawaban yang bisa timbul untuk membenarkan situasi. Kita berdua sudah tahu kalau dalam beberapa jam lagi hidup kita berubah seratus delapan puluh derajat dan masing-masing akan memulai hari yang baru dengan perasaan aneh di dalam dada. 

Malam adalah waktu yang tepat untuk berbicara tentang ketidakpastian yang jamak sekali terjadi dalam kehidupan. Malam tercipta untuk memberi kita waktu untuk bicara tentang banyak hal di luar rutinitas. Malam diberikan kepada kita untuk membantu kita mencari jawaban atas berbagai pertanyaan. Tetapi tidak jarang malam memberikan kita perasaan aneh dan menyakitkan yang membuat kita semakin takut untuk memulai hari baru. 

Apa sih yang jauh lebih indah daripada bicara tentang peradaban yang semakin membuat kita sadar tentang betapa kita tidak signifikan di dunia ini? Bukankah masing-masing dari 8 milyar penduduk dunia ini sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing? Lalu, apakah penderitaan dan rasa sakit ini juga bagian dari jalan kehidupan?

Tidak perlu terlalu banyak mengenang masa yang sudah lewat karena mata tercipta untuk melihat ke depan dan bukan ke belakang. Banyak yang sadar tetapi sedikit yang berani untuk memulai. Sebagian besar dari kita memilih untuk diam dan menerima saja apa yang hidup akan lempar untuk kita semua. Ketidakpastian menjadi hantu yang terus bergentayangan bebas di dalam kepala. Ghost figures of past, present, future haunting the heart. Tidak heran ada beberapa orang yang memilih jalan pintas dan memegang kendali atas dirinya sendiri, menolak untuk menjadi bagian dari ketidakpastian dunia. 

Kalau memang saya menjadi jembatan untuk dirimu melangkah melewati jurang ketidaknyamanan maka dirimu sudah berhasil melalui jurang tersebut dan berada di ujung lain dari dunia yang lama. Pafa akhirnya langkah ragu yang kau ambil berhasil membawamu pergi dari kebodohan dan kesombongan. Saya bangga pernah ada dan tiada di dalam buku kehidupanmu yang ditulis dengan tinta darah.

Pak! LIhat! Bulan sedang berubah warna menjadi ungu! Apakah ini sebuah pertanda dari alam dan kuasa untuk kita semua menjadi taat kembali pada peraturan? Mungkin dunia sedang di-restart ulang demi menghapus file-file sampah yang nongkrong santai tanpa pnuya peran di dalam memori? 

Sudah berapa banyak memori tentang wajah-wajah penuh nafsu yang sibuk cari kepuasan kosong masuk ke memori kepalamu? Jangan-jangan dirimu juga adalah bagian besar dalam upaya mengisi kekosongan di hati setiap individu hilang arah? Entah di kasur, sudut kosong, mobil, atau di kuburan tua mereka berbagi kekosongan. Dibayar dengan uang, janji manis, dan rasa nyaman mereka bertransaksi lendir. Bertukar cairan dan erangan demi menutup hutang kekosongan. Atas nama mereka yang mengejar kepura-puraan kita menormalisasi permainan bodoh pebuh resiko. Peluh, liur, lendir, darah, dan sprema yang tumpah tanpa rasa cinta adalah bukti nyata betapa kita sudah dikuasai oleh produksi massal pada dekaden. Senang dan sedih sudah dimanipulasi. 

Sesungguhnya setan tidak akan pernah mau tinggal di hutan. Mengapa mereka yang menikmati alam rentan dirasuki sementara taipan-taipan yang gila beton dan besi dengan mudahnya mengeruk hutan hijau rindang beserta segala isinya? Setan ada di keramaian. Membawa sepi dan sedih untuk dilahap oleh banyak manusia. Merekayasa segala perkara demi keuntungan material belaka adalah salah satu indikator keberhasilan.

Selamanya kita adalah konsumen terbaik mereka.