,

Sebuah Awal dari Akhir yang Terlalu Indah

May 04, 2022 Samuel Yudhistira


Hendaknya kamu bicara tentang betapa hidup bekerja dengan cara yang sangat-sangat biasa dan bukan sesuatu yang luar biasa atau mistis atau mungkin tidak masuk akal. Kasihan mereka yang bekerja keras sampai lupa rasanya tersengat sinar matahari sudah susah payah berpikir tentang ini itu tetapi hanya disanggah dengan argumentasi yang nyaris tidak punya dasar selain daripada cocoklogi ataupun logika tidak jelas masyarakat. Apakah kalian mau percaya dengan teori panjang lebar yang datang dari manusia lokal macam mereka? Dari indeks prestasi dan minat baca saja orang-orang di negara ini sudah cukup bisa dilihat. Yah...mau bagaimana lagi...ketika badai informasi masuk ke negara ini, SDM yang bermukim sejak era Proto Melayu ini nampak belum siap dan mudah terpukau dengan betapa mudahnya mereka menjadi tahu sesuatu di mana kebenarannya bahkan masih menjadi tanda tanya.


Kalau sudah begini biasanya mereka yang tidak berisi akan berteriak paling nyaring yang anehnya lebih mudah untuk dicerna dan dipercaya oleh mayoritas penduduk di negeri ini. Konon katanya semua adalah ciptaan alien dan kita semua adalah kecerdasan buatan yang diberikan darah, tulang, dan daging agar menjadi sempurna. Konon 10.000 tahun silam seorang ilmuwan jenius menciptakan kita semua dari sisa-sisa sampah asteroid yang dihisap oleh gaya tarik bumi. Butuh ratusan hingga ribuan tahun hingga ciptaan sang ilmuwan tersebut menjadi sempurna dengan segala cela dan keegoisannya. Mulailah mereka belajar dan mengerti tentang proses pembelahan, pembuahan, dan beranak pinaklah ciptaan ini di muka bumi. Benturan gen di antara mereka menciptakan perbedaan baik secara fisik dan mentalitas.

Mereka yang menju ke utara menjadi lebih besar, mereka yang mendarat di barat menjadi lebih egois, mereka yang menuju ke selatan menjadi lebih ceria, mereka yang terdampar di timur menjadi lebih perhitungan, dan beberapa yang terserak di antaranya menjadi lebih penuh curiga antara satu dengan yang lain karena merasa ditinggal. Tak pelak mereka hingga hari ini pun masih haus akan darah dan merasa paling layak untuk masuk ke "pangkalan akhir" paling awal karena ketidakadilan yang sudah terjadi di awal masa penciptaan.


Para ciptaan berkumpul mencari persamaan dan mencoba menerima perbedaan. Namun beberapa di antara mereka mencoba untuk memanfaatkan perbedaan demi keuntungan sendiri atau memanipulasi persamaan untuk menjejaki struktur tertinggi di dalam pohon kehidupan mereka. Tiba-tiba muncullah sistem kelas, tiba-tiba muncullah perselisihan, tiba-tiba semua saling menipu, tiba-tiba terbesitlah sebuah ide untuk menguasai yang satu dengan alasan perbedaan. Terancam punahlah mereka semua akibat keserakahan mereka sendiri. 


Apakah yang dilakukan oleh sang ilmuwan jenius tersebut? Dia diam saja. Tak mau ambil pusing. Masih banyak ciptaan lain yang lebih butuh perhatian. Toh mereka juga sudah dibekali dengan kemampuan dan kepintaran buatan maha canggih. Sudah sepatutnya mereka menyelesaikan semua permasalahan dengan kemampuan tersebut. Apa guna dia mencipta jika ciptaannya ternyata tidak ada gunanya? Mulailah muncul rasa bersalah dalam diri sang ilmuwan. Apakah mereka ini adalah sebuah kesalahan yang harus dimusnahkan? Dipersatukan mereka menggarang, diberi ruang mereka menggila, diberi pengertiang mereka malah melunjak habis tak karuan. Sudah sepantasanya mereka diberikan satu pukulan telak supaya habis tidak bersisa.


Bagaimana rasanya menghancurkan ciptaanmu yang paling sempurna? Bagaimana rasanya mengoyak sebuah karya yang kau buat susah payah? Sudah tentu tidak tegalah sang ilmuwan merusak habis ciptaannya yang dibuat melalui riset panjang dan proses pengerjaan yang tiada mengenal kata lelah sama sekali. 


Sudahlah biar saja. Nanti mungkin mereka akan berubah total dan sadar kalau mereka diciptakan sedemikian rupa dengan fungsi dan kebutuhan tertentu atas nama adaptasi atas setiap perubahan. Mungkin mereka akan bersatu padu untuk menjaga sesama dan juga berbagi dengan ciptaan lain yang sudah hadir jauh sebelum mereka yang sempurna ini datang.


Begitulah awal mula penciptaan hingga sampai hari ini kita semua masih bertanya-tanya tentang bagaimana emosi tercipta, bagaimana cara menghilang dengan sempurna, bagaimana cara agar kita bisa hidup tanpa bergantung terhadap ciptaan lain. Semua adalah tentang matematika. Hitung semua sampai kita mampu menghitung apa yang harusnya keluar dan apa yang harusnya kembali kepada kita.


Kita adalah ciptaan...kita adalah buatan....kita tidak alami, terlalu banyak campur tangan "asing" membentuk kita hingga kita tiba di titik di mana kita yakin bahwa semuanya ternyata hanyalah ilusi. Kita bukan ciptaan, kita adalah pencipta, bahwa sang ilmuwan jenius tersebut hanyalah mitos belaka sehingga tdak perlu kita menjadi begitu optimis terhadap apa yang sudah diciptakan.

Tamat sudah.