Terang Benderang

May 20, 2022 Samuel Yudhistira

 Sendu perjalanan.

Rumah hanya teman yang meninggal.


Pada suatu hari nanti patung kita akan diresmikan berdiri di tengah kota Jakarta. Lalu setiap orang yang lewat tidak akan pernah tahu tentang apa yang sudah kita perbuat. Anggap saja kita berdua menabung dosa, membuang sial, melepas rindu, dan meredam perih. 


Mandi cahaya. Lebih baiklah kita menggunakan istilah itu sekarang dibanding dengan "keliling kota" di tengah malam. Kita dimandikan oleh cahaya gedung-gedung pencakar langit maha sombong. 


Satu jiwa melayang. Dicabut sudah semua selang dari tubuhnya yang mulai dingin, kaku, dan membiru. Dokter keluar ruangan, bertemu dengan ayah bundanya yang pucat pasi tak sanggup lagi menangis. Dokter menggelengkan kepala. Selesai sudah. Pecah jerit tangis sang bunda, lemas sudah sang ayah, teman-teman terdiam tak berdaya, dan penunggu pasien yang lainnya hanya bisa pura-pura sibuk dan berharap nasib sama tidak menimpa diri mereka.


Di lantai atas ada jerit tangis juga. Satu jiwa datang memenuhi dunia. Ayah bunda menangis bahagia. Bahagia yang dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi kekhawatiran. Satu jiwa datang menjajal bengisnya kehidupan. Satu jiwa datang tanpa punya pilihan. Kalau pun ada pilihan hanyalah: lahir atau mati. Satu jiwa datang siap diperbudak kehidupan.


Satu jiwa melayang terjerat beban kehidupan yang menghimpit dirinya hingga pecah kepalanya. Darah keluar dari mata, telinga, dan hidung. Hembusan nafas terakhir terdengar begitu pilu. Serpihan tengkorak terpental hingga ke ujung jalan. 


Beberapa jiwa menangis di dalam sunyi. Ruang lembab 3x4 dengan penerangan minimalis menjadi ruang aman bagi mereka untuk mengekspresikan segala kesedihan. Menangis, menjerti, meminta ampun, hingga berdoa sampai hilang kesadaran, semua dilakukan karena semua jalan telah tersumbat dan tiada celah untuk sekedar melemaskan otot di kepala dan dada.


Apakah kita adalah makhluk paling terbelakang dalam urusan berbagi? Atau kita mungkin adalah makhluk yang tidak kenal kompromi?


Kita tidak nyata. Semua adalah khayalan belaka. Sebenarnya daging dan roh kita ini adalah tipu daya. Dunia yang sebenarnya itu bukan di sini tapi di sana. Di mana? Tidak ada yang tahu. Lalu mengapa bertanya? Karena tidak tahu. Petunjuk demi petunjuk sudah turun dari ribuan tahun lalu tapi tetap saja masih ada derita. Apakah kita hanya debu tanah? Bukankah kita memang tercipta dari tanah? Atau jangan-jangan kita adalah bagian dari khayalan seseorang dari dimensi lain?? Apa sebenarnya ini semua? Tidak ada yang tahu. Masing-masing hanya menerka, masing-masing hanya menghitung langkah. 


Beberapa jiwa mencoba menguak tabir kehidupan dengan keilmuan. Beberapa mencoba menguak tabir kehidupan dengan nalar. Kebanyakan dari kita mencoba menguak tabir kehidupan dengan kebodohan dan merasa puas akan hasilnya. Tertawa nyaring, berteriak paling nyaring, merasa paling benar. Di dalam kebodohanlah manusia terkadang dirinya paling pintar. Di dalam persamaanlah manusia merasa dirinya paling aman. Dan di dalam perbedaanlah manusia merasa dirinya paling setia.


Lawan terus sakitmu, hingga kebal, di kota Jakarta.


Bersama para pendosa inilah aku merasa aman. Bersama dengan mereka yang disebut "sampah masyarakat" inilah aku menemukan kemanusiaan. Bersama dengan mereka yang disebuat sebagai manusia tidak beruntung inilah aku menemukan kekayaan. Bersama dengan mereka semua yang pergi tak punya nama inilah aku merasa dikenal. Titik di mana dirimu kehilangan harga atas jiwa dan raga adalah titik yang paling brutal dan menyedihkan. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhmu tatkala kau berusaha untuk mencari wajah yang kau kenal. Asing...semua begitu asing terdengar, terlihat, dan terasa. Atas nama mereka yang akan datang menjenguk nasib di dunia ini aku berkata:

 

Keraskanlah hatimu atas segala yang tidak masuk akal dan biarkanlah dirimu dibuai kebenaran walau harus berdarah tertancap duri-duri tajam. Kebenaran dan kebohongan akan menyertai engkau hingga kau puas atau hingga mereka bilang berhenti untuk membiarkan engkau sekedar beristirahat sejenak sehingga lebih puas lagi mereka menyiksamu.


Halo....halo...Jakarta...kami bosan dapat petaka.