Sebuah Surat untuk Kamu yang Menghilang dan Melebur Bersama Debu di Udara

June 06, 2022 Samuel Yudhistira

 Cikini, Jakarta, 6 Juni 2022

Kalian pernah muda, pernah bahagia, pernah nakal, pernah tertawa, bersenda gurau, dan merasakan takut akan kematian yang sekiranya bisa datang setiap detik. Ketika langit mulai gelap dan gemuruh suara senapan menggema di situlah kalian sadar betapa rapuhnya daging kalian. Setiap saat timah-timah panas yang melayang-layang bisa saja masuk menembus tubuh. Betapa dekatnya kita pada tuhan ketika kita tahu bahwa titik akhir perjalanan hidup bisa datang kapan saja.

Teringatlah suatu waktu ketika mesin-mesin kota mulai memasuki sebuah kampung.

Ada suara berseru-seru di tengah sawah yang terhimpit beton bangunan:

"Persiapkanlah jalan bagi pembangunan dan relakanlah semua dibeli secara tunai!"

Lalu mulailah para pandai uang membagikan harta karun pada mereka yang berteriak nyaring. Siapa yang paling nyaring dialah yang akan mendapatkan bagian yang paling besar. Lalu mulailah semua orang beradu kuat suara di tengah sawah yang terhimpit bangunan. Terpantul, melayang, menguap, diserap, hingga tanpa sadar mereka menjadi tuli dan bahkan tidak mampu mendengar suara hati mereka sendiri.

"Celakalah kita semua," ujar salah satu dari mereka. Bergetar bibir dan tangannya menggenggam kantong emas yang dibagi oleh si pandai uang.

Belum selesai badai. Belum. Semua hanya permulaan. Semua hanyalah sebuah permulaan dari sebuah bencana yang jauh lebih bengis.


Tersudut mereka semua di tengah kampung. Tak bertanah, tak berumah, tak berjiwa, tak bersuara, dan tak tahu mau melakukan apa lagi. Hanya ada bongkahan-bongkahan emas di tangan mereka masing-masing yang mereka sendiri tidak tahu harus diapakan emas-emas tersebut.

Ditanam tapi tak tumbuh.

Disimpan tapi tidak berbuah.

Mulailah penduduk kampung berspekulasi, berasumsi, dan bergosip dengan info yang katanya didengar dari temannya teman teman teman sepupu keponakan si dia. 

Lho bagaimana ini? Katanya ini logam mulia? Katanya logam ini ditempa oleh sang khalik sehingga punya nilai-nilai keilahian dan barangsiapa mampu mengumpulkan logam ini sebanyak mungkin akan bisa memerintahkan gunung untuk terjun ke laut...tapi mengapa mereka nampak semu...tak bernyawa...Jangan-jangan kita ditipu?


Datanglah suara nyaring dari ujung jalan masuk kampung:

"Berkumpullah semua! Kumpul! Kubuat kalian jadi layak! Kudatangkan adab dari kota untuk kalian manusia-manusia tidak beradab! Akan aku buat kalian menjadi manusia paling bahagia! Akan kubuat kalian menjadi makhluk paling mutakhir! Versi sempurna dari keturunan Adam dan Hawa. Manusia modern. Tukar emas kalian dengan barang-barang yang kubawa langsung dari kota! Jadilah sempurna, jadilah beradab, dan jadilah terang!! Karena sesungguhnya orang paling bahagia di dunia adalah mereka yang mampu untuk membeli sebanyak mungkin tanpa pernah tahu gunanya,"


Satu langkah kecil dibuat menuju malapetaka yang jauh lebih keras.


Begitulah manisku, manusia menjadi sempurna ketika mereka mampu mengendalikan manusia lain dalam jumlah yang besar. Manusia menjadi sempurna ketika dia mampu untuk melakukan manipulasi terhadap kemanusiaan itu sendiri. Manusia menjadi sempurna ketika dia mampu untuk menciptakan nilai dan norma untuk manusia lain. Manusia menjadi sempurna ketika berhasil menjual rasa takut akan kematian kepada orang banyak di luar sana. Sempurna!

Manisku, kau dan aku sudah banyak sekali melihat betapa dunia bekerja berdasarkan perintah dari segelintir orang yang entah rupanya seperti apa. Hanya nama-nama yang melayang-layang di udara dan hinggap di setiap telinga yang mampu mendengar. Berhenti sampai di sana. Bahkan kita pun adalah bagian dari sistem kejam tersebut. Tergoda kita dengan janji-janji muluk tentang kebahagiaan. Ketika kita semakin tua dan semakin menipis rambut di kepala kita barulah kita sadar kita ditipu mentah-mentah. Ingin rasanya merobek kamus dan mengganti definisi "BAHAGIA" menjadi seperti apa yang kita rasakan.


Darah mengucur dari pergelangan tangan, menetes di lantai bersamaan dengan air mata dan keringat, sambi menangis kau menyayat semua sisi hanya untuk merasakan rasa sakit yang mungkin sudah kau lupaan. Sambil menangis kau merobek kulitmu mencari titik sakit yang paling mencolok. Sambil menangis kau membayangkan hidup yang lain di mana tidak ada rasa sakit. Kaos putihmu mulai bercorak tertimpa darah yang mengering perlahan, tetap kau menangis. Menangis tanpa sebab. Entahlah, rasa sakitnya tidak begitu mengganggu. Entah karena kebal atau mungkin karena lupa saja dengan apa yang namanya sakit dan perih. Perlahan penglihatanmu mulai kabur, perlahan ototmu mulai mengeras, keringat mulai mengaliri lukamu memberikan sensasi perih yang aneh, lalu air matamu mulai mengering, perlahan tenagamu hilang, dan kau pun menghilang.


Apa sih yang indah tentang kematian? Ketika hidup adalah tentang konten semata semua hal tidak lagi istimewa, semua hal menjadi konsumsi publik, tiada lagi kebahagiaan exclusive, semua milik users. Bahkan kesedihan bukan menjadi sebuah perjalanan emosional tetapi menjadi perjalanan data yang dibagikan melalui jaringan internet. 

Apa sih yang menyedihkan tentang kematian di era modern? Paling-paling mayatmu ditonton orang-orang lewat gawai, makammu menjadi situs swafoto, lalu hidupmu menjadi perlombaan penulisan caption sedih. Setelah itu, seminggu kemudian orang-orang lupa kalau kau pernah hidup. Itu sudah.

Tapi tenang saja manisku, kita berdua akan mati bersama. Kita berdua akan minum darah kita sebelum kita berangkat menuju keabadian yang entah ada atau tidak. Kita akan berjalan bergandengan menuju entah apa namanya. Kita akan saling berjalan berdampingan sambil tersenyum mesra menyambut datangnya maut. Aku ingin mati bersamamu. Aku ingin kau adalah sosok terakhir yang aku lihat ketika meninggalkan dunia ini dan aku ingin diriku menjadi sosok terakhir yang kau lihat ketika nafas terakhirmu dihembuskan. Kita akan abadi, manisku. Ya, kau dan aku akan abadi.


Tidak akan ada yang tahu, tidak ada yang menangis, karena mereka mencintai kita dengan sungguh-sungguh. Mereka akan mabuk merayakan keberhasilan kita keluar dari daging rapuh ini. Mereka akan berpesta pora. Mereka akan bahagia. Kematian kita adalah kebahagiaan mereka, manisku. Mereka yang mesra dan penuh cinta kepada kita akan bahagia ketika kita sudah tidak menginjakkan kaki di dunia. Aku cinta padamu, manisku. Cinta yang hanya bisa dimengerti oleh kita berdua. Cinta yang hanya akan menjadi milik kita berdua selamanya. Bukankah itu semua cukup?