, , ,

Eulogy (II)

March 14, 2023 Samuel Yudhistira

Sudah beberapa kali disampaikan kalau durasi bukanlah segalanya. Mereka yang ada ketika kau pertama kali menghirup oksigen di bumi belum tentu menjadi orang-orang yang paling mengenal dirimu. Bisa jadi mereka adalah sekumpulan manusia yang bersyukur kau sudah pergi dunia orang-orang keren.

Ketika kau mati, kau tidak bisa memilih mau dikubur di mana, bagaimana upacara pemakamanmu, siapa yang boleh datang dan siapa yang tidak boleh datang, mau pakai baju apa, mau disisir seperti apa, semua sudah diserahkan kepada mereka yang "lebih berhak" dan dianggap sudah paling dekat dengan dirimu.

Asap rokok mengepul, perbicangan tentang kuasa, gosip, kenangan, hiburan, rasa iba,pelayanan, ayat-ayat suci, kisah-kisah bodoh, dan hawa berkabung memenuhi ruangan. Keluarga, kerabat, sahabat, dan para penjlat datang mengenakan baju serba hitam. Kami yang turut berkabung sambil ketawa-ketiwi lihat jokes absurd di grup whatsapp, kami yang berkabung sambil fokus membaca tulisan-tulisan motivasi dukacita untuk dibagikan ke sosial media, kami yang berkabung sambil sibuk mendokumentasikan, kami yang berkabung sambil sibuk membicarakan orang-orang yang hadir, kami yang berkabung sambil membicarakan tentang betapa berdosanya mereka yang mengambil jalannya sendiri menuju dunia orang-orang keren, dan kami yang berkabung sambil menggerutu tak sabar untuk pulang kembali ke rumah.

Lalu dirimu datang, mengokupasi panggung, menarik semua mata, dan menyuarakan semua kebenaran di antara kepalsuan. Lalu dirimu berkata:


This is my second time meeting Sam. He didn’t seem uncomfortable sleeping in this narrow wooden box. He even looked, a bit relieved? I didn’t understand.

Nice suit, Sam. Although you were a bit cold and blue.

As we only met once, on a hot day of March in Yogyakarta, it’s — I don’t know how to label this feeling; is it sadness? But I haven’t gotten to know you too well to earn a proper right to grief — wordless, to see you gone.

Is it disappointment? For the possibility of wandering together through a meadow full of twists and turns had just slipped through my fingers.

Is it confusion? A reminder of how our fate could be that absurd, and altered in just a split second.

*mic meraung*

*feedback*

*hadirin terkejut*

Ah… I’m sorry, Sam, for making this about me. While it should be about you. 

So, hi again Sam, it’s me. Nice suit.

I was hesitant to embrace the feeling. But now I know; to me, for the short 3 hours — and the additional 3 hours afterwards on the phone — that I and Sam talked, I have earned a proper right to grief. I don’t know how to materialize the way I know… or rather, knew, him, in words. For no syllables, no phonetic sounds, would suffice.

I just know, that Sam would understand me, my understanding of him, and the exact sensory receptions in my organs, even now in his perpetual sleep.

It’s even nonsensical to say ‘this is the end'. For an end to take place, something must have begun in the first place.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri kamu hanya bisa memandanginya tanpa bisa menyentuh. Geram rasanya...Ingin kau berlari lalu memeluk sosok yang baru saja melontarkan kata-kata tersebut dan berkata kalau semua akan baik-baik saja.


Kami yang ditinggalkan adalah orang-orang paling sial di dunia...