Ad Majorem Dei Gloriam

June 22, 2023 Samuel Yudhistira


Duduklah dia di barisan paling belakang. Bahkan tidak masuk ke dalam barisan. Silangkan kaki, tangan kanan menopang dagu dengan wajah serius. Sesekali melepas kacamata plus dan menyipitkan mata untuk mendapatkan fokus yang mulai hilang termakan usia. Bicara pelan, bersabda kencang, lalu berpikirlah dia karena untuknya berpikir bukanlah sebuah beban melainkan sebuah petualangan yang mengasyikan.

Marilah kita semua kembali kepada apa yang sudah tertulis ribuan tahun silam. Aksara yang hilang arah. Aksara yang hilang kendali atas mereka yang membacanya. Aksara yang tenggelam akibat gilasan zaman. Apakah masih bisa kita percaya kepada tulisan-tulisan orang yang bahkan belum kenal listrik? Mereka yang lahir dan mati tanpa kenal internet...bisakah kalian bayangkan betapa menderitanya hidup tanpa internet? 

Dalam sebuah mimpi yang aneh saya masih ingat terduduk di sebuah bangku panjang dan sekitarku hanyalah ruang kosong tak punya ujung. Semuanya kosong, putih, dan tidak ada satu benda atau makhluk ada di ruang tersebut. Kosong. Desis angin tak terdengar, setiap gerakan menimbulkan gema suara yang menyambar entah ke ujung mana. Di dalam mimpi itu kamu datang lalu duduk di sampingku dan dari kantung jaketmu keluar tiga totem kayu berbentuk beruang, gajah, dan serigala. Kau berikan gajah kepadaku sambil berkata kalau suatu hari nanti kau akan bertelinga lebar dan orang-orang akan datang memburumu bukan untuk daging tapi hanya untuk gading. 


***

"Pegang baik-baik, simpan, jangan sampai orang tahu kalau gajah ada padamu! Keberuntungan akan menyertai dirimu. Tapi kalau kau hilangkan totem gajah ini maka semua akan berbalik menyerang dirimu dan membuatmu patah hati, menekan dirimu dengan perasaan bersalah tanpa ujung yang nantinya akan membuatmu mati karena tidak tahan dengan rasa sesal," 

Peringatan diberikan dengan tetap wajahmu memajang senyuman multi tafsir, siap membuat setiap orang bertanya-tanya tentang tujuan dirimu yang satu setan pun dapat mengerti.


***

Bulan November di kota Blitar kita berjalan menyusuri jalan yang masih sangat sepi karena penghuni kota ini masih belum terbangun. Trotoar belum banyak dijajah pedagang-pedagang kaki lima yang memanfaatkan ruang publik sebagai ruang alternatif perniagaan. Kita bicara tanpa suara. Menggenggam semangat dan amarah untuk dilampiaskan di siang hari nanti. 

"Saya paling terkenal mas di sini saking bandelnya dulu waktu masih muda," sang pengemudi bercerita sambil menyetir mobil yang kita tumpangi menuju penginapan. Asap rokok terus keluar dari mulut dan hidungnya, gigi yang mulai jarang adalah prasasti pengingat masa muda yang penuh keblingsatan, dan semua orang menyapa dirinya dengan penuh senyum.


***

Masing-masing dari kita memakai jas hujan murahan dengan warna yang cukup mencolok mata. Kau dengan merah mudamu, aku dengan hijauku, dan hujan terus megguyur ringan. Kalau kita berjalan terus sampai kaki kita lelah kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kota ini masih punya daya untuk membuat kita senang walau lebih sering kita dibuat menggila karena tekanan bengis dunia. Berlari rianglah kita menyeberangi jalan melalui jembatan penyeberangan orang yang sudah sangat jarang digunakan oleh penghuni kota ini. Gila memang! Berjuta-juta uang yang dikumpulkan dan dikelola untuk membawa peradaban malah disia-siakan. Mari kita mengabadikan momen-momen ini di atas kertas film penangkap cahaya. Tidak apa! Basah sedikit tidak akan membuat kita lupa caranya bersenang-senang. 

Sisi selatan kota sedang tidak bersahabat ketika kita berdua menyaksikan mereka yang berlomba menuju ke peraduan tengah melawan waktu, melawan lelah, melawan sakit, dan melawan sedih. Terjebaklah mereka di antara mesin-mesin kota. Kita tertawa dalam kegetiran. Karena besok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya kita akan tetap terjebak bersama mereka yang dipaksa bernafsu untuk tetap hidup.

***

Kamu berjanji kemarin untuk melawan sakitmu, melawan hinamu, dan melawan malumu. Di tengah perjalanan menuju ke timur jauh kota Jakarta kita berdua berhenti terlebih dahulu untuk melihat ke mana angin akan berhembus dan ke mana bulan akan sembunyi. Kamu masih percaya akal-akalan mereka yang mengaku punya kemampuan untuk menjaga dirinya dengan baik dan aku masih percaya bahwa sejatinya cinta itu adalah produk post-capitalism. Kita duduk bersebelahan di depan ruko-ruko yang sudah tertutup rapat. Peduli setan dengan kenyamanan! Inilah nyaman versi kita berdua! Terlontarlah berbagai cara untuk menjadi dia yang penuh dengan sukacita, kebijaksanaan, dan ketangguhan. 

Coret beberapa hal yang tidak perlu dan pertahankan saja yang menurutmu penting! Lo pikir dunia mau ngikutin cara lo? Kalau emang sudah jengah sama semua, mendingan bikin dunia baru. Bersenang-senanglah senantiasa. Kalau enggak....yaahhh setidaknya gausah manyun melulu. Apa yang sudah "diambil" emang gak bisa dibalikin. Tapi kalau lo gak merasa kehilangan berarti dia tidak mengambil apa-apa dari diri lo. Anggap aja kayak lagi sparing sama petinju profesional.

This is it. Lighten up! Steady the buffs, old girl! Ain't gonna raining all day inside your head. Perihal nanti biarlah nanti.


***
Kepada mereka yang bersungut-sungut di tengah ramainya kota dan kepada mereka yang mulai hilang kesadarannya, aku berkata kepadamu sesungguhnya "DIA" yang kalian sebut dengan berbagai nama dan "DIA" yang kalian sembah dengan berbagai acara tetap menunjukkan kuasa-Nya bahkan ketika kita semua menyangkal bahwa ada kuasa yang lebih tinggi daripada sekedar angka di rekening bank.

Selalu ingat bahwa kamu pernah duduk ala kadarnya di bawah  kolong ramp parkiran untuk sekedar menarik diri dari kesibukan. Indahkah masa-masa itu?

Sepulang kerja kita mengutuki dunia yang tidak pernah berpihak kepada kita sambil menikmati semangkuk ramen. Sepulang kerja kita mengeluh gaji kita tidak pernah cukup sambil sibuk memilih baju di outlet-outlet kesayangan kita. Sepulang kerja kita mengumpat senantiasa demi membongkar kemacetan dari depan kantor hingga ke rumah. Sepulang kerja kita meromantisasi kesulitan dan berharap bisa tetap sulit asalkan hidup sambil tetap melontarkan kritik tak beralasan terhadap sistem kelas dan kemiskinan struktural yang membelenggu.

All for the glory of his NAME, enak banget yah...tinggal bikin...terus tungguin aja duduk di singgasana antah berantah berharap semua akan baik-baik saja. Bukankah dasar dari segala sesuatu yang tidak terlihat juga merupakan narasi yang didorong untuk menimbulkan rasa memilki terhadap DIA? Mendingan gue mancing aja di empang!

Tidak berwujud tapi terasa. Bukankah kita semua bisa merasakan angin tapi tidak bisa melihat wujudnya? Kita semua tetap bisa menikmati semilir angin menari di kepala, pundak, dan dada kita kan? 


***

Kini semua sudah selesai dengan sangat baik dan kita semua dipenuhi damai sejahtera yang entah datang dari mana. Tidak ada lagi malam-malam penuh kegelisahan yang membuatmu terjaga hingga matahari datang. Tidak ada lagi percakapan tengah malam dengan malaikat maut. Tidak ada lagi rasa khawatir tentang bagaimana mereka bisa melanjutkan perubahan tanpa adanya dirimu. Tidak ada lagi rasa sakit di kepala, dada, dan lenganmu. Ucapkan selamat tinggal pada mereka yang mengasihimu tanpa harap balasan. Titipkan saja warisan-warisan idemu kepada anak-anakmu yang akan membawa namamu tetap abadi. Percaya saja. Perjalananmu sudah selesai. Letih sudah dirimu memikirkan kesempurnaan sebuah ide demi tatanan dunia yang jauh lebih baik. Letih sudah ragamu. Meja kerjamu sudah kau rapihkan sedemikian rupa sebelum akhirnya kau dibawa ke dunia pergumulan antar dunia dan dimensi. Belasan tahun kau dicintai tanpa pamrih. 

Lihat! Anak sulungmu menjadi wanita tangguh nan taktis seperti dirimu dulu.

Lihat! Anak laki-lakimu tumbuh menjadi seseorang yang memegang nilai dan pemikiran yang sama seperti dirimu.

Lihat! Anak bungsumu sudah mampu memainkan nada-nada sulit di atas tuts piano dan berbicara penuh ketegasans sama seperti dirimu.

Lihat! Mereka semua menjaga istrimu sama seperti kau dulu menjaga dia yang terus mendampingimu hingga saat-saat terakhirmu. Mereka semua menjaga belahan jiwamu agar tiada air mata kesedihan jatuh dari matanya. Mereka semua sayang kepadanya sama seperti kau dulu begitu mengasihi dia.

Bukankah sudah cukup semua kenangan yang kau tinggalkan abadi di dalam hatinya?

Mengelilingi kota Jakarta yang semakin keruh hanya berdua seperti di awal kalian berjumpa, pergi ke tempat-tempat penuh kenangan, menikmati makanan-makanan yang kalian sukai, dan bercakap-cakap tentang dunia dari sudut pandang kalian masing-masing.

Masa kejayaanmu justru dimulai ketika kau begitu dicintai oleh mereka yang berbagi ruang dengan dirimu.

Sekarang...duduklah...mari datang ke rumahKu, ke tempat yang sudah disiapkan khusus untuk mereka yang berpegang teguh dan tidak goyah hingga akhir masa. Lihatlah, sekarang kau tidak perlu menunggu lagi di padang kosong. Sekarang kau sudah ada di sini. Benih-benih nilai yang kau sudah kau taburkan akan tumbuh menjadi pohon besar yang tidak akan goyah oleh kencangnya angin dunia.

Tak usah takut.

Sempat kau gusar dan kecewa karena tidak berdaya tetapi percayalah bahwa dalam ketidakberdayaanmu sebuah cinta yang besar tertuju hanya untukmu seorang.

Selamat datang! Mari kita semua duduk melingkar dan memulai diskusi tentang apa yang sudah kalian tinggalkan untuk kemaslahatan bersama umat manusia.

Lalu kau mulai duduk bersilang kaki, menopangkan dagu, menyipitkan mata, dan melontarkan berbagai buah pemikiran hasil dari petualanganmu yang mengasyikkan di dalam kepalamu sendiri.

Karena bagimu...berpikir justru adalah sebuah petualangan yang mengasyikkan.

Long you live and high you flySmiles you'll give and tears you'll cryAnd all you touch and all you seeIs all your life will ever be