Pada Suatu Hari Angin Berbisik Tentang Kabar yang Belum Tentu Benar

November 13, 2024 Samuel Yudhistira

Buah dari kesabaranmu adalah lebih banyak lagi bencana yang membuatmu kebal terhadap derita. Kemarin kamu berharap bisa terjun bebas dari antah berantah menuju kehampaan abadi.

Hari ini kamu kembali membaca pertanda dan tetap mengejar kuasa.

Besok kamu akan tetap terjebak dalam fantasi hura-hura, lusa kamu akan menangis melihat angka.

Syahdan, duduklah sang Raja Shaman di tengah lingkaran orang-orang yang menjadi pengikutnya dan mulailah beliau bercerita tentang obat untuk lari dari derita. Beli satu gratis satu! Beli dua gratis tiga! Semua akan pulih dan jika sakit berlanjut maka sebaiknya kamu berdiri di depan cermin maka akan terpantul sumber masalah sebenarnya.

Kalau di-translate pakai bahasa England semua nampak begitu cerdas dan nyata. Kemampuan berbahasa nyatanya masih menjadi komoditi berbasis kelas dan menjadi saringan bagi mereka yang melempar peruntungan cinta dan nafsu di dunia maya. Sekedar lempar pick up line kembali kondom. Kadang postinor...mungkin saja spiral. Di sebuah sudut kamar kosan overpriced di Jakarta Selatan ada yang menangis histeris melihat dua garis menyala di atas alat uji. Puluhan missed call dari dia yang 'tercinta' telah membuktikan bahwa cinta sudah mengalami modifikasi abal-abal. Tangis berubah menjadi amarah dan amarah berubah menjadi nafsu untuk membunuh. Bahkan pembunuhan menjadi perang suci yang dipengaruhi kondisi moneter dan geopolitik Asia Timur Raya. 

Satu hidup dipaksa hilang dari dunia! Satu jiwa dipaksa lenyap tanpa ingatan! Bukankah microorganism juga makhluk? Lalu kita ini siapa? Apakah kita berhak merasakan kenikmatan tanpa pikir konsekuensi? 


Rejoice, O young man, in your youth, and let your heart cheer you in the days of your youth. Walk in the ways of your heart and the sight of your eyes. But know that for all these things God will bring you into judgment.


Untuk kita yang mengutuki Marconi karena hak paten adalah penentu, hal-hal semacam ini tidaklah sulit untuk dilakukan. Who are we to judge? 

Apakah kita yang bertanya dianggap sebagai pengadil hidup? Standarisasi macam apa itu?

 

Taman Suropati, Jakarta Pusat, 01:27

Saya ingat kamu duduk di atas tanah dan menolak duduk di kursi taman dengan alasan bosan. Saya tahu kamu ingin menyatu dengan alam kota Jakarta yang tidak seberapa. Seorang pemain biola berbaju lusuh terus berlatih entah buat siapa, pedagang asongan bergosip, aparat mengantuk, dan dua jiwa ini masih betah berbincang tentang hidup. Tak ada sedikitpun rasa ingin beranjak pulang ke peraduan walau malam sudah larut. 

Ruang alternatif! Kita tuh dari tadi bicara soal ruang! Tapi kita gak bicara soal pameran seni yahhh...kita bicara tentang manusia. Bukankah masing-masing manusia itu unik? Tidak ada versi lain dari diri kita selain diri kita sendiri. Berarti....kita tuh karya seni! Ya gak sih? Lalu kenapa kita terus-menerus memajang diri kita di ruang konvensional? Bukannya kita bisa yah majang diri kita di tempat lain? Yang kita omongin tuh yaa tentang ruang. Kamu sama aku sekarang berbagi ruang. Sekarang kita saling apresiasi diri kita di ruang alternatif yang kita bagi berdua. Mungkin kayak kolaborasi. Iya gak sih? 

Lalu dia memejamkan mata. Kakinya tersilang, kepalanya menghadap ke langit gelap penuh polusi cahaya. Entah sedang tunggu wangsit atau memang mengantuk. Sebuah pemandangan extraterrestrial. Bicara soal ruang alternatif di kota di mana kepadatan penduduk menjadi masalah cukup serius. Kadang saya rindu percakapan utopis di antara kita berdua. Hanya kita berdua yang mengerti. 

Apa sih yang lebih urban dari beli hamburger take away, makan di taman, terus pusing mikirin tagihan? Hehehe...