Surat Untuk Orang-orang Dalam Perjalanan Hidup

December 21, 2024 Samuel Yudhistira
Perjalanan menggunakan KRL Commuter Line menuju Tangerang Selatan memang sudah sering terjadi dalam hidup saya. Tetapi kali ini terasa sangat berbeda. Sisa-sisa pandemi masih membekas di setiap ruang publik termasuk transportasi umum. Hari sudah menjelang gelap di akhir pekan sehingga tidak terlalu banyak orang di dalam gerbong. Stasiun demi stasiun dilewati dan memang nampaknya tidak begitu banyak orang dari Jakarta menuju ke Tangerang Selatan. Sudah waktunya turun dari kereta, berjalan keluar stasiun sambil memesan ojek online. Sebuah kemudahan yang mungkin tidak pernah kita anggap serius sebelumnya. Terbukti bahwa pengaruh besar teknologi mulai terasa ketika kalangan yang tadinya kita anggap jauh dari teknologi sekadang mengandalkan teknologi demi memenuhi kebutuhan hidup. 

Cuaca nampak kurang bersahabat. Hujan terus menghantam Jakarta dan sekitarnya sehingga udara dingin yang tidak lazim ini cukup menjadi hiburan bagi para warga kota. Orang-orang di kota memang cukup unik. Mudah sekali mereka dihibur. Cuaca dingin, jalanan tidak macet, udara segar sudah cukup untuk menghibur para penghuni megapolitan yang jengah dan membosankan. Berbahagialah mereka yang tinggal jauh dari kemunafikan kota karena merekalah manusia nyaris sempurna. Tidak punya banyak pretensi dan political correctness seperti spesies manusia di kota. 

Sebuah pesan instant masuk:

Tungguin! Dikit lagi gue kelar. Kalau udah sampe kabarin aja! Okay? See u soon! 

Replied:

OK! Gue naik taksi jadinya. Ujan! Rada macet. ETA 20 menitan. 

Heran memang. Baru saja dipuji kalau tidak macet. Lalu ketika hujan turun jalanan berubah menjadi lebih padat. Entahlah. Kota ini aneh. Apakah ketika hujan jalanan mengecil sehingga menimbulkan kemacetan? Atau memang orang-orang di kota suka main hujan? Entahlah. 

Lalu tepat dua puluh menit kemudian dia tiba. Sekilas matanya tertuju pada beberapa mannequin terpajang di halaman sebuah restoran middle-end yang menjadi titik pertemuan. Sebuah karya dan ide dari pemilik yang dipaksakan untuk dieksekusi oleh tim kreatif perusahaan. Walau beberapa kali ditentang tetap saja mereka terpajang dengan alasan "estetika" busana. Terkadang mereka yang punya uang dan kuasa ternyata tidak punya selera dan estetika yang bagus. 

Sending message:

Gue dah sampe! Nunggu di pos satpam aja sambil sebats. 😁

Yeap! Menunggu hujan di pos satpam sambil menikmati tembakau bakar memang sebuah pengalaman tidak menyehatkan tetapi sangat menyenangkan. Melihat manusia-manusia ini masuk ke restoran overpriced dengan rasa biasa saja dan berfoto demi estetika yang menurut saya biasa saja. Kadang tempat di mana kita memenuhi kebutuhan dasar pangan menjadi penentu kelas. Padahal usus dan tubuh gak peduli harga dan story Instagram. Kembali....selera dan rasa. Tidak semua punya. Tetapi uang masih bisa dicari. Pada akhirnya bukan seberapa bagus seleramu tetapi seberapa sanggup kamu menghamburkan uangmu di tempat yang rasanya tidak seberapa itu. 

Saya menolak untuk masuk ke dalam area restoran karena tahu di dalam ada beberapa petinggi perusahaan yang kalau lihat saya mungkin mereka akan bertanya-tanya mengapa saya ada di sana karena mereka tahu rumah saya jauh sekali dari tempat tersebut. Betul! Jauh sekali memang. Tetapi saya berjanji untuk berbagi cerita dengan seorang kawan. Cerita tentang kepahitan dan kenyataan bahwa kita kerap kali larut dalam perasaan aneh yang kita kira menyenangkan ternyata membawa petaka untuk kedua belah pihak yang sudah terlanjur larut. Saya senang berbagi cerita. Dia juga senang berbagi cerita. Bicara tentang musik, film, dosa, kota, kenangan, dan berbagai keluhan tentang underpaid workers menjadi agenda yang sangat menyenangkan. 

The Butterfly and the Tank, Hills Like White Elephants, The Killers, Fathers and Sons, Night Before Battle, dan beberapa cerita pendek dari salah satu penulis favorit kita berdua. Tak ketinggalan beberapa karya milik "lost generations" kita tumpahkan dalam percakapan. 

Sudah gelas kopi ke dua tetapi percakapan masih kelewat hangat. Kita bicara tentang Chicote's, Hotel Florida dan membayangkan visual tempat terjadinya banyak peristiwa di dalam cerita sampai tibalah kita di satu kota tempat penulis tersebut menghabiskan masa muda dan tuanya sebagai ekspatriat: Paris. 

"Lo pernah kebayang gak? Gue suka banget ngayal babu ada di era tersebut dan kayak ngobrol sama mereka semua. Kayak di buku " A Moveable Feast" gitu. Part kesukaan gue tuh pas di bagian dia ngomong gini: If you are lucky enough to have lived in Paris as a young man..."

Belum selesai saya bicara dirimu sudah langsung menyambung kalimat tersebut dan entah bagaimana caranya suara kita berdua tersinkronisasi dengan baik. 

"..then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast,"

We laughed so hard. Both of us. It was one of the greatest moments in my life. Meeting you was like me meeting myself for the first time. 

Kembali ke Tangerang Selatan ketika sang supir taksi online bercerita tentang kenakalan masa muda, menyebut banyak nama yang entah siapa itu, dan kita berdua hanya bisa saling menatap dan tertawa. Entah apa maksud sang supir bercerita tentang keburukan layaknya pencapaian penting dalam hidup. Entah apa yang merasuki kita berdua pada waktu itu sampai tertawa terbahak-bahak kala turun dari mobil dan mengingat momen absurd yang baru saja kita alami. I made fun of him. You laughed. Kita pada akhirnya tiba di zaman di mana beberapa orang merasa kalau hal-hal negatif merupakan cara untuk disegani orang. Entahlah. Buat saya absurd! 

Closerie des Lilas, Le Dome, La Rotonde, Luxembourg Garden,  Les Deux Magots dan Café de Flore menjadi titik-titik yang sering menjadi bahan pembicaraan. Ajaibnya dirimu yang sudah hampir setiap tahun mnimal 4 kali bolak-balik ke Paris bahkan sempat tinggal di sana ternyata tidak sempat mengunjungi tempat-tempat tersebut. Wow! Sibuk sekali. 

Saya jadi teringat momen ajaib. 

"Let me close my eyes. Now, tell me about Paris! I wanna visualize that city with my natural VR tools,"

You didn't get what I mean and smiled awkwardly to me. 

To me, those few weeks with your company were some of the best days of my life. You were one of the glimpse of lights during those mad days. I was brokenhearted, angry, and deceived. Nobody except you was there to cheer me up. And to that I just want to thank you. I'm pretty sure you have forgotten those moments but for me those moments laid a great foundation to my beautiful chaotic life. So, wherever you are now, if you can read this, I just want to thank you for being there. Thank you for all the stories. And one las thing: Britney Spears is better than Christina Aguilera!! 

Hahahaha.... 


See you later! I don't know when or when. But if we ever laid eyes on each again...well...hope you're doing good with your life. I have found the most magnificent woman ever. Remember when I told you that love and sex are all about physics? It's proven now. Maybe someday I'll introduce you to her. She's the coolest! Hope you've fouhd yours. Don't give up on life! You have so many great things in you. Cherish those things! I have forgotten you. 


This is not a story. It's a letter. You know how much I love letters, don't you? 


Your friend, 


Sam



PS: Ain't life grand, Ozz? Gue juga belum sempet nonton wayang orang. Cheers! 🍻