, , , ,

siap? bersedia? dor!

March 11, 2022 Samuel Yudhistira


Sudah siap? Kamu yakin tempatnya di sini? Apa karena udaranya lebih segar dari Jakarta? Atau mungkin karena banyak sekali kenangan tercipta di tempat yang secara visual sangat asing? Jangan-jangan kau mulai jatuh cinta terhadap tanah yang kau pijak ketika pikiranmu melangkah terlalu jauh menuju ketiadaan? 


 

Terbujur kaku tubuhmu di dalam kotak dengan seragam kebanggaanmu dan teman-temanmu yang kurang tidur berkerumun tanpa bisa banyak bicara. Menangis pun sudah tidak bisa karena tidak ada yang menyangka dan tidak akan pernah ada yang siap mendengar kabar seperti itu.

Berenang santai, lalu hanyut, mulai tenggelam, dan mulailah engkau menerima fakta bahwa sebentar lagi nyawamu yang tidak seberapa itu akan dicabut dari ragamu yang sangat tidak menarik. Adil bukan? Adil dong! Karena pada dasarnya kau bukan siapa-siapa dan kau tidak menciptakan apa-apa sehingga dengan menerima fakta bahwa kau tidak nyata maka kau akan berfungsi dengan maksimal sebagai manusia.


Bertahun-tahun kamu menampik perubahan terjadi dalam hidup sampai akhirnya kau didekatkan kembali kepada tempat di mana kau banyak menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang tidak penting. Berbagai dramaturgi dan liturgi tentang nasib...bukan kehidupan...menguap begitu saja ke udara...tidak punya bekas. Diruntuhkanlah tembok-tembok senioritas, bersorak-sorailah kita semua, lalu semua terdiam karena bingung tidak bisa berbuat apa-apa lagi dalam kehidupan. Aduuuhhh....seharusnya jangan begini....seharusnya jangan begitu....


Dalam ruang 3x4 dengan penerangan minimalis, udara pengap, dan ruang gerak terbatas kamu menabrak batas-batas kesucian. Hilang sudah lugumu! Bermainlah engkau dengan maut. Lenyap sudah ragumu! Bermainlah engkau dengan cinta. Runtuh sudah tembok batas perihal moral dan nilai! Bermainlah engkau dengan suasana buatan. Instant! Tanpa tekanan! Ikatan hanyalah bualan.

Kita dipersatukan oleh sesuatu yang kita anggap barang remeh temeh. Bercakap-cakap singkat, tabrak semua warna, hingga pada akhirnya kita bertukar pikiran dan energi. 

Kritislah dalam bertindak! Adillah dalam berpikir! Kalau kamu cinta retorika, silakan bercinta dengan retorika dan jangan pernah melihat ke belakang! Kalau dunia terasa membosankan...yasudah mari kita ciptakan dunia yang baru supaya hidupmu tidak stagnan kembali. Jangan berpikir! Kamu pekerja! Seorang pekerja dilarang berpikir! Seorang pekerja harus bekerja dan bekerja dan bekerja. Heroisme tentang dia yang duduk di atas batu dan berhasil menjawab teka-teki dunia sudah mati sejak zaman dahulu kala.


Idealisme...dialektika...logika...materialisme...romantisasi...oposisi...Bangun! Mimpi burukmu tidak pernah berhenti bahkan ketika engkau sudah terbangun dan berjalan gontai keluar dari stasiun kereta. Roda penggerak dunia adalah kaki-kaki kalian yang dipecut hingga bernanah demi memperkaya mereka-mereka yang entah ada di mana. 


Hidup adalah matematika. Matematika adalah hidup. Mereka yang tidak hidup dengan matematika adalah mereka yang tidak pantas menghirup oksigen di bumi ini. Kalau kamu bilang 1+1 = 2, maka kamu layak menjadi warga dunia yang sanggup meraup kekayaan di muka bumi. Kalau kamu bilang bahwa 1+1 = 1, maka selamanya kamu akan duduk di atas tumpukan batu bata, menunggu perintah, menanti titah, menerima amarah. 

Secara kultur, kita sudah dibantai habis. Secara kultur, terjadi genosida dalam pikiran. Asasi hanyalah basa-basi. Asasi hanyalah.....ahh sudahlah. Payung-payung hitam yang mulai pudar masih tegar berdiri walau warna muilai hilang. Kau menggambar dunia dengan kata-kata tetapi hanya kau sendiri yang mengerti apa yang kau gambar. Abstrak! 

Haduh...monochrome nih. Haduh...sebut saja seni. Haduh...memang tak punya bakat...Haduh...mending goreng tahu ajalah....Haduh....Haduh....Haduh....

Lalu tiba-tiba terbaringlah engkau di atas ranjang medis, oksigen dipaksa masuk, bunyi-bunyian berbagai alat yang ditempel di tubuh menjadi musik sehari-hari. Kebosanan, penyesalan, doa, dosa, pengampunan, kasih sayang, kesendirian, finansal, hingga dengki merangsek masuk ke dalam kepalamu. Kamu pergi. Selamat tinggal! Semoga kita tidak bertemu kembali dan jika memang relativitas waktu adalah nyata, maka kita bisa saja terbangun bersama dengan mereka yang seharusnya tidak ada. 

Siapa sosok familiar terakhir yang kau lihat? Lagu apa yang terakhir terdengar? Dengan siapa terakhir kau tertawa? Benda apa yang terakhir kau beli? Pekerjaan apa yang terakhir kau kerjakan? Kegiatan apa yang terakhir kau tekuni? Kesalahan apa yang terakhir kau buat? Apa yang terakhir terucap dari bibirmu?

Selesai.