,

Night Before Battle

May 15, 2011 Samuel Yudhistira
Salah satu cerpen karyanya Hemingway pertama yang gw baca pas gw SMP. Menurut gw gokil kalo ngebayangin gw berada pada posisi orang yang ada di medan perang dan besok pagi harus melakukan penyerangan ke wilayah musuh dengan kondisi kekuatan musuh lebih kuat.

Apa yang ada di benak gw kalo itu adalah diri gw??

K.I.A. (Killed In Action)

Udah pasti gw selalu merasa dekat dengan kematian. Takut?? Sangat!

Dan apa yang gw lakukan di malam sebelum pertempuran yang mungkin merenggut nyawa gw, apa yang akan gw lakukan kalo itu mungkin aja menjadi malam terakhir gw? Di satu sisi gw berada di tengah pertempuran yang gak bisa ditebak dan diprediksi. Segala kemungkinan bersifat pasti dan kematian adalah hal yang sangat wajar.

Hemingway bahkan juga pernah bilang, "In modern war you will die like a dog for no good reason."

Yahh, kira-kira seperti itulah keadaan dan kenyataan yang terjadi di tengah medan pertempuran yang jelas-jelas brutal. Cerpen yang gw baca itu ditulis tahun 1938 di tengah perang saudara yang terjadi di Spanyol.

Sedikit mengingatkan gw sama puisinya W.S. Rendra yang judulnya "Doa Serdadu Sebelum Perang" di mana sang serdadu memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk mengizinkan dia membunuh musuh-musuhnya tanpa terbeban oleh dosa yang harus ditanggung.

Gw pernah baca salah satu surat dari serdadu Inggris yang terluka pada Perang Dunia I (1916) yang dimuat di majalah, salah satu kata-katanya adalah, "There is nothing but hopeless."

Gw rasa itu adalah gambaran yang sangat tepat untuk memberitahu generasi mendatang bahwa perang tidak mendatangkan keuntungan yang banyak bagi kedua pihak, bahkan terkadang jauh lebih merugikan pihak lain yang tidak terlibat dalam pertumpahan darah tersebut.

Sungguh sebuah ironi mengetahui bahwa sampai detik ini, masih ada orang-orang yang dicekam ketakutan hidup dalam bayang-bayang peperangan. Sehingga kadang gw bersyukur kepada Tuhan berada di tempat yang bisa dibilang "damai" secara fakta dan bisa dibilang "jauh" dari pertempuran penuh darah.

Tapi inget, buat gw Jakarta itu adalah "warzone" dalam bentuk yang berbeda, sedikit lebih lembut dan tidak penuh darah, tapi tetap berlumur dengan kekejaman dan dosa yang tak terlihat, yang jauh lebih membunuh dibanding pedang, jauh lebih cepat dibanding peluru, dan jauh lebih brutal dibanding hentakan meriam. Yang jelas dan tanpa ampun "membunuh" mereka yang terbungkam di balik "damai"-nya ibukota...