, , , , , ,

Secuil Kisah Cikini (part 1)

August 10, 2020 Samuel Yudhistira

Kita duduk merapat sedikit agar sekiranya percakapan kita yang tidak punya batas ini bisa disimak dengan baik. Angin malam yang konon katanya tidak sehat tidak kita pusingkan. Selama kopi hangat terus terhidang dan pembicaraan terus mengalir nampaknya tidak jadi masalah jika angin malam sekalipun berhembus. Toh kita semua sadar dan mencoba untuk melawannya dengan canda tawa. Seru sekalinya nampaknya perbincangan kita malam ini. Mulai dari musik sampai kritik pedas sistem sosial sehari-hari kita lontarkan di depan semua orang yang bukan merupakan pakar kehidupan.

Peduli setanlah tentang siapa lebih cerdas dari siapa, di tempat ini semuanya setara dan seimbang.

Malam terus bergulir hingga akhirnya kita saling berucap salam perpisahan ketika matahari mulai muncul dan geliat kehidupan mulai menunjukkan tandanya. Ketika orang-orang mulai sibuk kitapun sedang sibuk beradu argumentasi dalam mimpi.

Gambar boleh kurang bagus.

Kertasnya pun sama sekali tidak bagus.

Anak kecil ini hanya ingin tahu kisah-kisah sang jagoan dalam buku tersebut. Harganya lebih murah dibanding di toko buku. Apa mungkin karena dijajakan di pinggir jalan jadinya harganya lebih murah? Secara matematis si abang penjual buku kan tidak perlu bayar biaya listrik atau pajak.

Lho, bahasanya koq agak kasar yah. Penerbit apa ini? Ah sudahlah, yang penting kau bisa berkhayal menjadi jagoan seperti di buku yang kau beli itu.

Tuhan itu cuman konsep.

Musik enak sama musik keren itu jelas berbeda.

Jakarta ini sudah penuh sama orang cerdas.

Seksualitas itu sangat laku di masyarakat. 

Kalau mau dilirik orang setidaknya ada deh satu personil cewek di dalam band.

Seniman sama orang gila itu beda tipis. Seniman merasa karyanya sudah bagus dan orang gila merasa kalau dia yang waras di dunia ini.

Entah sudah berapa juta kata yang masuk dan keluar di tempat di mana kita biasa duduk bersila sambil menikmati suasana yang terkadang sedih, senang, sampai menuju ke arah absurditas. Ketidakpedulian kita akan hal-hal pragmatis menyatukan kita semua yang ingin berbeda dan melawan arus. 

Sudah jam 4.50 pagi tapi tak kunjung juga ada pertanda kalau pesta sudah selesai. Semua masih tajam menatap lampu-lampu di panggung dan menikmati suguhan pertunjukan yang tak lagi sehat. Siapa berani membubarkan dia akan kena batunya. Tak ada yang mengeluh kecuali para pengisi acara yang hampir mati bosan menunggu giliran tampil.

Di depan menghadap ke gerbang utama film-film arus utama mengisi layar menghibur masyarakat tetapi di pantat gedung pertunjukan inilah kita bicara serius tentang isi dari film-film yang kurang laku di masyarakat dan bahkan dicap "aneh" oleh orang kebanyakan karena isi ceritanya dan hasil produksinya yang terkesan nyeleneh. Yah, hanya secuil petak pertunjukan, hanya mampu menampung 50-an orang terletak di balik gedung bioskop utama.

Aku duduk di tempat di mana aku biasa duduk. Pemandangan yang tidak lazim lalu muncul di tempat tersebut ketika menara videotron berdiri tegak di tempat di mana aku biasa duduk. Rasa kecewa datang dan aku sadari bahwa tempat ini tidak akan sama lagi seperti dahulu kala ketika aku melihat gumpalan awan yang nampak seperti kembang gula, tarian bocah-bocah kecil, pohon besar di tengah amphitheater tempat aku pernah menyaksikan pertunjukan, dan gedung kaca megah tempat kita dulu pernah ramai-ramai berkumpul di depannya.

Seperti yang sudah pernah disampaikan sebelumnya bahwa Cikini adalah tempat yang tepat untuk kembali jatuh cinta pada kota Jakarta.