,

Pada Suatu Hari Ketika Matahari Sedang Jahat-Jahatnya (Bagian Kedua)

August 29, 2023 Samuel Yudhistira

Untuk dapat memahami konteks silakan membaca bagian pertama di sini walau saya yakin tidak akan ada yang mengerti juga kecuali mereka yang turut hadir dalam peristiwa tersebut.


Sebuah sudut yang menyenangkan di selatan kota Jakarta. Kita semua masuk ke dalam satu ruang tidak terlalu luas untuk menyaksikan perhelatan musik yang diadakan secara kolektif oleh sebuah perguruan tinggi swasta. Menarik. Semua senang, semua terhibur, dan semua larut dalam pertukaran energi antara pemusik dan penonton. 


"I'm an addict. I'm addicted to pain, self loathing, and self sabotaging. The only people who have interest with me are the mad ones. Those who are mad to live, mad to die, mad to anything. Aren't we all the same kind? Long live the uncertainty! We all know the end is near, very near, and the only thing we can do is just suck it up. We should talk again real soon. Share some deep shit together before we all get too old,"


Hujan semakin deras turun dan malam semakin larut. Semua toko sudah tutup dan kita semua berteduh di depan salah satu toko. Anggur merah, kopi, dan kretek menemani kita semua melawan dinginnya malam. Tidak ada tanda hujan akan segera reda dan tidak ada tanda ingin segera pulang dari salah satu di antara kita. Semua nampak bahagia. Langit tidak lagi hitam malam ini, semuanya biru tua.


"What are we going to talk about? A father we never had? Don't feel sorry for me. 'Cause we can't lose what we never had. What's left in us? Nothingness. You are one lucky son of a gun. You've survived, man! Ain't that pretty? Hundreds of people might have just blown their brains out. But you, you've managed to deal with the ordeals. Earn it! It's yours. To live and to life!"


Beberapa dari kita mulai hilang kendali atas dirinya. Alkohol sudah mengalir deras di dalam urat nadi dan substansi kimiawi menambah semarak malam. Tertawa lepas tanpa beban. Jadilah kita mesin hedonis paling angkuh yang pernah menjejakkan kaki di muka bumi. Tidak akan ada orang yang mengeluhkan suara kita karena kita ada di bagian kota di mana moralitas hanyalah akal-akalan mereka yang tidak bisa bersenang-senang seperti kita. Kita hanyalah bagian kecil dari dekadensi yang terjadi di sekitar kita. Musik, film, agama, politik, teologi, isu sosial, kenangan masa silam, gosip teraktual tak terukur, dan literasi menjadi santapan malam kita dalam percakapan tidak berujung. 


"After all, we are only ordinary men. If you make more than the average guy it doesn't mean that you're better than the average guy. Screw it! Being average is a privilege. You don't have to think about what are you going to wear, what language you speak, what words to use, or what kind of manners you are going to apply. You just be you. Isn't it wonderful? My dad used to beat the shit out of me because he didn't know how to raise me well or maybe the only he knew was that. Men are designed to be tough. He can be defeated but not destroyed."


Selalu ada jeda dalam setiap percakapan. Setiap kali tertawa keras setelah seseorang mengeluarkan candaan kita semua tunduk tenang menatap entah apa yang ada di depan mata sambil berdiam diri menarik nafas secara ugal-ugalan di tengah lamunan. Entah sadar kalau isi candaan tersebut merefleksikan hidup atau memang kita semua rajin dan pandai dalam menyembunyikan luka di dalam hati kita masing-masing. Dunia terasa begitu sempit. Ternyata alkohol yang mengalir deras di dalam sistem darah kita tidak mampu membuat perasaan kita menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Selalu saja ada titik di mana kita merasa dunia sedang tidak baik-baik saja bahkan ketika kita tertawa bersama.


"All is gravy, man. Most of us will definitely die here, unknown, and all you have to do is enjoy your time being wasted. Some will be lucky enough to form the "dream life" and the rest will either torn their leather jacket, get a haircut, and become part of the system. Nothing is wrong anyway. We are all part time punks, aren't we all? You'll shine. Trust me. If you can't change the whole world the least you can is changing my world, ain't that big enough for you?"


Sepatu kami penuh lumpur, peluh membasahi t-shirt kami, dan tetap saja kami menemukan hal-hal untuk ditertawakan. Siapa peduli besok akan jadi apa atau besok akan seperti apa? Selama botol-botol minuman kami belum kering, selama itulah kami akan terus bergembira. Lihat sekitarmu! Puntung-puntung rokok bertebaran, abu rokok bercampur air hujan menjadi genangan lumpur kecil, dan kami tetap saja santai duduk di pelataran toko tanpa tersentuh oleh gangguan-gangguan kecil tersebut. Kenyamanan adalah ketika kita tidak merasa terganggu oleh sekitar kita. Tidak perlu ada standar. Selama kamu menikmati, selama itulah kenyamanan itu akan ada.


"To change the world, it may not work but it sure is a fun trying. That is brilliant! Where did you get it from? A zine? Wow, I never thought a dusty pretentious zine can produce such a remarkable words. Anyway, do you still write? I love your writings. They have no boundaries. Sometimes it  takes guts to be able to write such a provocative issue. You did it! Boy, you've got guts!"


Hidup terus tanpa berpikir tentang konsekuensi yang ada. Ketika kita bicara tentang hidup dan mati kita semua terpaku pada kenyataan kalau kematian masihlah sangat jauh di depan mata dan kenikmatan hidup pastilah dekat dan terlalu nyata untuk tidak dinikmati. Hiduplah seperti engkau akan mati besok. Hari semakin tergerus dan semua mata mulai menunjukkan tanda-tanda keletihan. Hujan sudah reda dan satu per satu meninggalkan tempat duduknya. Merenggangkan otot-otot sejenak sambil mengumpat karena perjalanan yang akan ditempuh dan betapa pengaruh substansi belum juga usai. Tinggallah beberapa orang yang masih menantang malam untuk tetap diam di tempat dan larut terus dalam percakapan tak berujung.


"I wish I could sing like you. I wish I could write like you. I wish I could think like you. If you said that your form of art is just pile of rubbish then what else..? Don't listen to them, listen to yourself. Only you can be you. When in doubt, listen to David Bowie. He'll change your mind. Ahh you sound silly anyway. Dozens of jealous eyes are staring at you right now because they have nothing to be at least the same as you now, my friend. You choose how you live. Courageously or timidly. The choice is yours. You tell me that you just wanna die and refuse to feel anything, don't you? Screw it! Death knows only one thing: it is better to be alive."


Berjalan lurus saja sudah sulit tapi tetaplah dipaksa daripada harus tidur menghabiskan malam di pelataran toko pinggir jalan. Mungkin deru jalanan dan getaran dari mesin motor akan membantu dirimu terjaga dan fokus mengendarai kuda plastik bermesin otomatis tersebut. Wuah...benar kata seorang kawan tentang betapa menyenangkannya ketika perutmu hangat dan diterpa angin malam kota Jakarta. Semua warna nampak lebih menyala dan semua orang nampak lebih bahagia. Apakah mereka benar-benar bahagia? Tidak ada yang tahu. Mungkin mereka lebih bahagia karena mereka mampu untuk membeli makanan dan minuman yang dijual dengan harga fantastis. Mungkin mereka lebih bahagia karena mereka mampu untuk memesan makanan dan minuman yang kita juga sulit untuk menyebutkannya dalam bahasa asing tersebut. Semua orang memang nampak lebih cantik dan tampan dengan gemerlapnya lampu-lampu neon tersebut.


"Stop being a self-pity moron, will you? People like you, like me, like us here, we see things differently from our society. We are the outcast, the creatures of midnight! Can't you bloody see it? All those glams and lamps are for common people! Us? We tend to love our dye in our hair, nowhere towns, words we use, music we listen, cheap cologne, wittiness, all the things that our society avoid. We few, we happy few, we are the creatures of midnight, my friend. Come on now! Shed your blood with me and you shall be my brother."


Pada akhirnya ketika semua kemeriahan selesai kita kembali terlelap di kamar tempat kita banyak menyuarakan mimpi dan mimpi dan mimpi dan semua mimpi tersebut masih bersuara di kamar tersebut hingga hari ini. Terkadang kita terbangun dan lupa tentang apa yang sudah terjadi malam sebelumnya. Terkadang kita terbangun dan melihat wajah-wajah mereka yang mesra denganmu masih terlelap. Suatu hari nanti kita akan menyadari betapa hari itu sangatlah berharga, betapa kenangan akan kita yang pernah muda dan penuh impian sangatlah indah. Ya, beberapa sudah lupa caranya bermimpi. Hanya sedikit yang masih bermimpi. Lebih sedikit lagi yang pada akhirnya menghidupi mimpi tersebut. Mimpi tentang keriaan tak berujung yang membuat beberapa orang pada akhirnya menjadi gila. Mungkin memang tidak semua dari kita dilahirkan untuk menjadi pemimpi. Atau memang ada yang masih ingin terus terlelap dan bermimpi hingga akhir hayat atau sampai hari kiamat. Sudut selatan Jakarta tempat kita berbagi kesenangan sudah menjadi sudut membosankan tempat para dekaden moral berkumpul dan setiap kali saya lewat sana saya selalu ingat kalau di sana kita pernah tertawa lepas hingga perut kita kram dibuatnya. Yes, sir! We were lucky. We were the fortunate ones.